“Penutupan Perbatasan Provinsi Gorontalo Tidak Lagi Efektif”: Sebuah news FT dan Kelalaiannya

Faisal Saidi (Foto: (Istimewah)

Penulis: Faisal Saidi, Mahasiswa Pascasarjana HTN, UIN Sunan Kalijaga

Opini – Dalam salah satu berita online lokal Gorontalo, Funco Tanipu, Dosen Ilmu Sosioligi, Universitas Negeri Gorontalo, mengatakan; bahwa menghentikan mobilitas penduduk antar wilayah tidak efektif, sebab di Provinsi Gorontalo sendiri mobilitas penduduk masih berlangsung seperti biasa. Hal itu disampainkan Funco atas dasar melihat kebijakan pembatasan keluar/masuk daerah Provinsi Gorontalo yang akan diberlakukan mulai 6 Mei hingga 17 Mei mendatang (https://newsnesia.id/mulai-6-mei-2021-perbatasan-gorontalo-sulut-dan-sulteng-ditutup/)

Berita yang berjudul “Penutupan Perbatasan Provinsi Gorontalo Tidak Efektif Lagi”, sama saja mereduksi motifasi pembatasan sosial di Gorontalo, oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo. Sekilas, tanggapan Funco atas ‘pembatasan’ itu sungguh begitu memiliki itikad baik serta menimbulkan rekaksi mendidih bagi masyarakat yang di luar Gorontalo untuk melaksanakan mudik, dengan harapan pemerintah lokal mempertimbangkan usulan Funco tersebut. Namun jika kita teliti memaknai apa yang hendak disampaikan Funco, justru kita aka temukan bahwa kebijakan pembatasan keluar/masuk yang dilakukan Pemerintah Provinsi Gorontalo tentu tak sesederhana itu.

Jika dilihat dari hierarki eksekutif, serta instrumen hukum terjadinya pembatasan mobilitas masyarakat, yang dilakukan dengan cara penutupan perbatasan Provinsi Gorontalo, akan kita temukan, bahwa pemeritah lokal tidak mempunyai peluang sama sekali untuk membebaskan terjadinya mudik di Gorontalo. Asbab, Sedari awal, atas arahan Presiden dan hasil rapat koordinasi tingkat mentri yang diselenggarakan pada 23 Maret 2021 di Kantor Menko PMK (Mentri Koordinator Bidang Pembangungan Manusia dan Kebudayaan), oleh Muhadjir Effendy telah diumumkan larangan mudik. Larangan mudik tersebut berlaku bagi ASN, anggota TNI/Polri, karyawan BUMN/BUMD, karyawan swasta, maupun pekerja mandiri dan seluruh masyarakat.  Selanjuntya, arahan pelarangan mudik ini kembali ditegaskan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19, dengan addendum Surat edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2021.

Untuk mencermati addendum SE No 13 Tahun 2021 itu, pada poig ‘G’ Nomor 15 dan 16 menjadi rujukan pemerintah lokal untuk mengatur, serta membatasi mobilitas masyarakat dengan adanya penutupan perbatasan di wilayah Provinsi Gorontalo.

Poin G No 15: Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang akan memberlakukan kriteria dan persyaratan khusus terkait pelaku perjalanan di daerahnya secara lebih rinci, dapat menindaklanjuti dengan mengeluarkan instrumen hukum yang selaras dan tidak bertentangan dengan Addendum Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah

Poin G No 16: Instrumen hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 15 yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan khusus merupakan bagian tidak terpisahkan dari Addendum Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.

Pertanyaanya, jika tidak dengan dilakukan pembatasan dengan menutup perbatasan di wilayah Provinsi Gorontalo, langkah apa yang akan dilakukan oleh pemerintah lokal untuk merespon addendum SE itu, serta instrumen hukum apa yang akan digunakan yang, sesuai dengan addendum SE, selaras, dan tidak bertentangan? Terlepas dengan lemahnya aturan pemerintah pusat serta timbulnya tumpang tindih aturan, serangkaian aturan di atas itu, tidak memungkinkan bagi pemerintah lokal untuk keluar dari kebijakan lamanya, yakni penutupuan perbatasan Gorontalo.

Saya perlu tegaskan, saya pun turut mengamini apa yang hendak dikatakan Funco tersebut. Tetapi, yang ingin saya katakan lagi, bahwa peraturan pembatasan di Provinsi Gorontalo tidak semata-mata berdiri tunggal, ada hal yang mempengaruhi serta memperkuat, hingga kemudian Pemerintah Provinsi Gorontalo kembali menutup perbatasan wilayah Gorontalo.

Berita yang di dalamnya memuat tanggapan Funco terkait pembatasan; Funco cenderung lalai dalam membaca rangkain peraturan yang, pada dasarnya kebijakan daerah itu berdiri atas kebijakan pusat. Meski berstatus daerah otonom, namun legitimasi pemerintah pusat tentu sulit untuk dipungkiri, karena dalam rangkain aturan lain, memungkinkan daerah otonom tetap mengikuti petunjuk, arahan, dan kebijakan pusat (di luar dari otonom khusus, Yogyakarata, Aceh Papua, Papua Barat, dan Jakatara).

Selanjutnya, menurut saya, Funco seharusnya mengarahkan kritiknya, atau masukannya itu kepada Pemerintah Pusat. Sia-sia jika narasi Funco itu hanya bertahan di wilayah lokal, Gorontalo. Kritik Funco justru bagi saya merupakan sebuah alternatif untuk memberi alarm di Pemerintah pusat, bahwa aturan pembatasan sudah tidak lagi efektif, dan atau perangkat aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat cenderung tumpang-tindih, dan lalai dalam membaca kearifan lokal. Jika itu dilakukan Funco, saya optimis bahwa narasinya tidak hanya sekadar menambah viewers berita, lebih dari itu, perhatian masyarakat lokal kepada Funco justru lebih kuat, bahwa selaku orang yang terlibat aktif di Crisis Center Covid-19 di Universitas Negeri Gorontalo, argumnetasi Funco akan menjadi pertimbangan ketat di pemerintah pusat.

Silang Sengkarut Kebijakan Mudik

Apa yang hendak disampaikan Funco – meski bagi saya tidak pada tempatnya – setidaknya mengingatkan saya pada kebijakan pelarangan mudik yang, oleh pemerintah pusat ditetapkan sampai pada akhirnya di tingkat daerah, tepat setahun lalu.

Tahun 2020, pelarangan mudik lebaran secara nasional merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan dan Peraturan Kepala Daerah. Agenda peraturan itu menuai banyak kritikan dari kalangan akademisi, dan masyarakat pada umumnya. Pasalnya, kecenderungan aturan yang bersifat elektoral itu justru membingungkan masyarakat. Dengan munculnya pelarangan mudik, secara bersamaan pula, moda transportasi diizinkan untuk beroperasi kembali. Seolah-olah, masyarakat dilarang untuk mudik, namun fasilitas untuk memungkinkan masyarakat melaksanakan mudik disediakan oleh pemeriah pusat.

Sehingga untuk tahun ini, rasanya tidak cukup jika hanya memegang arahan Presiden belaka, atau  addedum SE tersebut. Untuk menjaga tidak adanya aturan yang tumpang tindih baik pemerintah pusat dan daerah, diperlukan Peraturan Presiden untuk melegitimasi larangan mudik tersebut. Sehingga instansi pemerintahan lainnya dalam membuat peraturan turunan dapat berpedoman pada satu aturan tersebut. Hal demikian pula mencegah tumpang tindih di level kementrian dan daerah (Advokat Konstitusi)

Di Gorontalo, pelarangan mudik itu dilakukan dengan penutupan akses perbatasan wilayah Gorontalo. Namun, secara diam-diam, orang yang berada dari luar daerah tampaknya enteng saja masuk di Gorontalo. Sebagai contoh, di saat pembatasan di wilayah perbatasan untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19, nyaris berujung ricuh di bagian Atinggola, justru oknum terduga pemakai narkoba asal Boalemo yang tertangkap di Jakarta pada akhirnya berhasil lolos masuk ke Gorontalo melalui perbatasan Sulawesi Utara-Gorontalo. Kasus lainnya, antara pemerintah daerah (pemda) Kabupaten/kota, justru kerap saling tidak terkoneksi satu sama lain. Pada akhinya menimbulkan reaksi berlebihan di masyrakat, dengan cara kembali beraktifitas seperti biasa, dengan menghiraukan aturan yang berlaku.

Titik skeptis Funco dalam aturan pembatasan kali ini tentu cukup beralasan, karena memang, aktifitas masyarakat di Gorontalo belakangan ini justru terkesan biasa saja. Selain itu, Funco kembali mengingatkan bahwa dalam jangka waktu setahun, dengan banyaknya aturan, justru tidak mengubah apa-apa. Alih-alih korban berkurang, Gorontalo, bagi Funco, sudah dititik yang paling tidak aman.

Pada tahun ini, sebaiknya kita mengamini apa yang dikatan Funco secara bersama, pun memaksa Funco untuk turut bicara soal narasi pembatasan ini di tingkat pusat. Sebab, sekali lagi, narasi Funco tak ubahnya dokumen peraturan pemerintah lokal, sia-sia.

 

Begitu.

 

Pos terkait