Opini – Kemarin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lembaga Ekonomi-nya menggelar halal bi halal secara virtual dengan terang menegaskan, bahwa saatnya Nahdliyin melakukan Jihad Ekonomi. Saatnya melakukan hal-hal yang kongkrit dalam persoalan ekonomi. Artinya, konsep jihad ekonomi ala NU tanpa harus bergantung pada orang (Kapitalis)
Pernyataan Ketua Umum PBNU, Prof Dr. KH Said Aqil Siradj dalam sambutan yang berlangsung di gedung PBNU itu, mengurai bahwa Jihad Ekonomi jelas disinggung dalam kitab Fathul Muin. Dalam kitab tersebut dengan terang menjelaskan empat macam ketegori jihad.
Dimana kata kang Said, salah satu kategori jihad adalah daf’u dharari ma’shumin, yang hal tersebut menerangkan untuk memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat atas sandang, pangan dan papan. Bahkan, lanjut kang Said, hal tersebut termasuk obat-obatan atau biaya kesehatan.
Jihad ekonomi sepertinya menjadi wajib kifayah bagi warga Nahdliyin. Mengingat Perekonomian Indonesia saat ini dikuasai 20 persen penduduk terkaya. Dan salah satu penyebabnya tidak meratanya pasar kerja. Dalam laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mencatat, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Meski tingkat kemiskinan 2015 bisa ditekan, namun kesenjangan masih menjadi pekerjaan besar kita hadapi.
Yang paling mengerikan, Indonesia dalam catatan tersebut merupakan negara tertimpang keempat di dunia, di bawah pertama ada Rusia,
India dan Thailand. Ketimpangan absolut ini meningkat karena pertumbuhannya lebih tinggi banding yang dibawah.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tren nilai produk domestik bruto (PDB) yang terus meningkat. Tren PDP Indonesia atas harga konstan 2010 senilai Rp 8,16 trilun pada 2013. Kenaikan tahunan rata-rata 5 persen menjadi Rp 10,55 ribu triliun di tahun 2019.
Jika dilihat dari presentase ini, Indonesia semakin sejahtera secara ekonomi. Namun kenyataan ini belum mampu dinikmati seluruh rakyat. Ketimpangan ekonomi kita sangat dalam dan masih menggurita. Apakah masyarakat kita sadar akan ketimpangan ini? Mari kita lihat lagi!
Dalam survei persepsi, yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), ada sebanyak 91,6 persen responden mengakui distribusi pendapatan tegolong “cukup tak setara” dan “tak setara sama sekali”. Respon ini dalam survei LSI, konsisten di seluruh lintas kelompok, mulai dari gender, pendapatan, pendidikan dan usia dan lokasi (kota/desa)
Perubahan pendapatan dalam 5 tahun terkahir menunjukan bahwa ketimpangan ekonomi kita masih sangat dalam. Ada 24 persen responden termiskin menilai pendapatannya menurun dan 56 persen dari golongan kaya merasa pendapatannya terus meningkat.
Menurut Bank Dunia (BD), kesenjangan ekonomi yang terjadi di Indonesia bukan lantaran memburuknya kondisi kemiskinan, penyebabnya adalah melejitnya akumulasi kekayaan kelas atas. BD juga menyebutkan, ada beberapa faktor yang memperdalam ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Pertama, ketimpangan peluang sejak lahir. Anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung memiliki masa depan yang kurang beruntung dibanding dengan keluarga kelas kaya. Sebab mereka tumbuh dari situasi tidak adil. Dengan demkian, masa depan anak berasal dari keluarga miskin kurang peluang untuk sejahtera.
Kedua, ketimpangan pasar kerja. Individu yang terjebak pada informal cenderung memiliki pendapatan rendah. Sebab produktivitas yang ia hasilkan juga cenderung rendah. Dan faktor ini justeru menghambat mereka untuk berkembang karena telah kalah dengan pekerja yang punya skill tinggi di bidang formal.
Ketiga, pemusatan kekayaan di segelintir orang adalah faktor ketiga. Artinya, 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia mampu menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Pasalnya, hingga periode kedua pemerintahan Jokowi saat ini, perekonomian indonesia antara kaya dan miskin jauh. NU saya kira tidak harus anti konglomerat, namun sebaliknya, warga Nahdlyin mendukungnya selagi ia berpihak kepada rakyat kecil.
Esensi dari kebijakan ekonomi mestinya bukan mengedepankan hitung-menghitung, namun ia berpihak kepada siapa dulu baru kita menghitung. Karena bagaimana pun kebijakan ekonomi kita, rakyat senang dan bahagia. Olehnya, Jihad Ekonomi ala Nahdlatul Ulama segera dijabarkan para pimpinan NU di daerah hingga level ranting. Sebab, dalam ketimpangan ekonomi ini tak lain adalah warga NU sendiri, yang mayoritas di negeri ini
NU yang punya banyak perangkat hingga level ranting, sangat mudah menjelaskan seruan PBNU, ditambah dengan para ahli di perguruan tinggi yang dengan mudah dan ilmiah menjabarkan seruan pelaksana tertinggi di NU. Selain itu, NU pun dapat segera melibatkan para kader profesional-nya, yang berjibaku pada isu-isu ekonomi, pun para kiai NU yang berjibaku pada ritus-ritus, dapat menyelipkan wacana jihad ekonomi ala NU kedalam ceramah-ceramah keagamaan demi “mengamankan’ seruan Jihad Mulya ini.
Mengutip pernyataan kang Said, warga NU selalu saja dianggap kaum Sudra yang tidak mengerti apa-apa. Warga NU dianggap tidak paham soal impor, ekspor dan bursa saham. Jadi, saatnya berjihad! Bismillah
Djemi Radji
Sekretaris Wilayah Lembaga Perekonomian PWNU Provinsi Gorontalo