Pemberantasan Korupsi, Quo Vadis?

Oleh : KH. As’ad Said Ali

Ketidakpuasan terhadap kinerja KPK sedang menjadi isu politik utama sejak beberapa bulan terakhir ini. Sasaran tembak diarahkan kepada Komisioner KPK khususnya Ketua Komisioner. Persoalannya seputar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dianggap sebagai proses untuk memberhentikan sejumlah penyidik senior berprestasi dan sekaligus sebagai bagian pelemahan KPK.

Bacaan Lainnya

Pada hemat saya, persoalan pokoknya bukan terletak pada tubuh KPK yang telah berjasa dalam pemberantasan korupsi selama ini.Perbaikan apapun terhadap lembaga rasuah tersebut tidak akan menjadikannya sebagai lembaga yang efektif, kecuali ada koreksi yang lebih mendasar.

KPK merupakan lembaga yg bersifat “Ekstra Ordinary” yang kewenangannya berbeda dengan penegak hukum lainnya. Tetapi KPK tidak bisa jalan semaunya, apalagi bertindak hukum rimba. Walaupun mempunyai wewenang khusus, KPK harus tunduk pada kebijakan Kepala Negara yang dipilih rakyat secara langsung. Para pendiri bangsa menyadari betapa potensi besarnya persoalan, mengingat jumlah penduduk dan luas wilayah negara, sehingga memilih sistem presidensiil yg mempunyai wewenang kuat dibanding sistem parlementer.

Faktanya UUD 2002 meredusir sejumlah kewenangan Presiden dan membaginya kepada legislatif misalnya pengangkatan Panglima TNI, Kapolri, Duta besar termasuk anggota dan Ketua KPK.Salah satu akibatnya KPK tidak bisa dikendalikan secara efektif sesuai kebijakan dan keinginan Kepala negara. Dalam hal ini, kewenangan Presiden dilemahkan oleh sistem baru berdasarkan UUD 2002.

Amandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002 dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan politik demokratis. Sayang kepentingan kapitalisme global lebih diakomodir dibanding dengan prinsip prinsip penting yang diwariskan para pendiri bangsa. Pesan asing tentang liberalisai politik, ekonomi dan sosial diserap tanpa saringan yang rapat, sehingga yang tercipta adalah “demokrasi transaksional dan prosedural”, suatu demokrasi minus kearifan lokal. Salah satu dampaknya biaya yang harus ditanggung anggota legislatif dan kepala daerah sangat besar dalam meraih kursi. Suatu sistem yang boros, sehingga logis banyak kepala daerah dan anggota parlemen terjerat rasuah.

Kembalikan kewenangan Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan layaknya sistem presidensil yang kuat. Tidak mungkin pemberantasan korupsi, kendali nya dibagi-bagi antara Presiden dg DPR (partai politik), karena itu menimbulkan potensi tarik menarik atau konflik. Benar kata Menko Polkam Mahfudz MD bahwa ketika Presiden ingin mengeluarkan PERPU, tetapi DPR menolak.

Disamping “masalah struktural” seperti dikemukakan diatas, ada masalah krusial lain yang juga perlu dibenahi yaitu “masalah normatif”, bagaimana membangkitkan kesadaran warga terhadap korupsi. Diperlukan suatu kampanye sosio- religio- kultural, bukan hanya dari kalangan pegiat anti korup, tetapi idealnya suatu gerakan masyarakat yang melibatkan kalangan budaya dan agama : masjid, gereja, pura, vihara, klenteng, padepokan dst nya. Tujuan utamanya untuk mewujudkan “ budaya malu dan bersalah “. Itu sebabnya kita perlu merenungkan secara arif posisi KPK yang pas dalam konteks kepentingan bangsa secara menyeluruh.

Pos terkait