Muh. Rifaldy R Happy PC PMII Kota Gorontalo Periode 2020-2021
Opini – Sebagai organisasi mahasiswa yang aktif dalam gerakan sosial dan Civil Society. PMII selalu menjadi lokomotif gerakan dikalangan mahasiswa, yang itu telah tersebar di berbagai kampus di seluruh Indonesia. Hal ini didasari dari kebebasan organisasi ekstra kampus dalam melakukan gerakan. Berbeda dengan organisasi seperti senat mahasiswa hingga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang lebih terkekang aturan kampus.
Keberhasilan Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) di orde baru, malah semakin memposisikan PMII dan organisasi ekstra lain sebagai organisasi strategis dalam melakukan gerakan kemahasiswaan. Dengan mengusung semangat kebangsaan, PMII mampu merebut hati mahasiswa dari berbagai macam kalangan.
Di Gorontalo, PMII sudah ada sejak Tahun 1966 atau tujuh tahun setelah PMII dideklarasikan di Surabaya. Universitas Negeri Gorontalo (UNG) yang kala itu masih dengan status IKIP Manado Cabang Gorontalo menjadi kampus pertama yang diwarnai dengan mahasiswa Ahlul Sunnah Wal Jamaah (Aswaja). Dari situ wawasan kebangsaan dan Islam ramah yang menjadi ciri khas PMII mulai menjamur hingga saat ini.
Beriringan dengan berjalanya waktu, kader-kader PMII terus di produksi sampai dengan sekarang. Tentu itu dilakukan sebagai upaya mempertahankan eksistensi PMII. Namun, seiring dengan bertambah kuantitas kader dari masa ke masa, tidak menjadikan perjalanan PMII di UNG berjalan dengan mulus. Karena, semakin gemuk sebuah organisasi maka semakin besar potensi organisasi itu diserang penyakit.
Kaderisasi merupakan nafas PMII. Semestinya harus dijaga agar tetap stabil, tanpa nafas seluruh organ tubuh akan merasakan dampak negatif. DI UNG sendiri degradasi kaderisasi akhir-akhir ini mulai nampak. Contohnya aktualisasi gerakan yang hanya monoton pada proses perekrutan anggota. Kaderisasi mestinya tidak berhenti di fase itu. Setelah perekrutan, anggota wajib mengikuti proses pembentukan, kemudian fase pemberdayaan, selanjutnya sebagai sistem kontrol, dan fase terakhir ialah penyedia pelaku kaderisasi.
Kampus “Peradaban” sebutan lain dari UNG adalah kampus unggulan di Gorontalo, sehingga mempertahankan kualitas akademik mahasiswa menjadi sebuah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Persoalan ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi psikis warga pergerakan ketika menempuh pendidikan di kampus. Alhasil warga pergerakan mulai terseok-seok mengimbangi perkembangan kampus tersebut. Jadwal kuliah yang padat, tugas menumpuk, praktek lapangan, capek, terlambat bagun, sering menjadi alasan anggota/ kader.
Padahal PMII harus mampu mengantarkan warganya memahami realitas diri dan lingkungan sekitar. Mustahil PMII akan sampai di titik itu jika kaderisasi hanya stagnant pada fase perekrutan. Filosofis pengkaderan PMII untuk menciptakan mahasiswa yang merdeka (independen) nampaknya akan sulit. Untuk itu, merawat kaderisasi PMII di UNG memberikan tantangan tersendiri, butuh gerakan yang lebih rapi, massif dan produktif.
PMII dan Demokrasi Kampus
Kampus sejatinya merupakan tempat potensial bagi kader-kader PMII untuk memperkuat mental, meningkatkan wawasan dan melatih kepemimpinan. Perebutan posisi struktural organisasi intra kampus menjadi penting. Kampus merupakan khittah perjuangan PMII. Kembalinya PMII di kampus adalah tugas dan mandat prioritas tanpa menafikan peran social control.
Konflik dan dinamika politik kampus punya dampak positif bagi seluruh kader apabila tetap disikapi dengan bijaksana. Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang terkandung dalam PMII menjadi kunci sukses berdemokrasi. Ketidakdewasaan dalam berdemokrasi merupakan sesuatu yang mudah dijumpai di Kampus Peradaban. Dalam setiap pergulatan yang terjadi tiap tahunnya anggota/kader PMII selalu melibatkan diri. Sebagai miniatur Negara, kampus tidak sepenuhnya diisi oleh orang-orang berhati baik. Panggung kepemimpinan Ormawa kampus biasanya ditempati oleh kelompok mahasiswa yang ingin tampil menjadi pahlawan. Namun gagal dalam memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Selain itu, pentingnya mengisi pos-pos strategis sudah jauh disadari oleh organisasi mahasiswa ekstra di luar PMII. Nah bagaimana PMII melihat perebutan itu ?
Di UNG keterlibatan kader PMII hanya berangkat dari kesadaran diri. Kelembagaan semisal komisariat dan Rayon sangat jarang ikut campur ataupun sekedar mendorong anggota/kader yang berkeinginan untuk maju bertarung. Sesuai dengan paradigma “Menggiring Arus, Berbasis Realitas” yang dikeluarkan pada masa kepengurusan sahabat Herianto Azumi (2005-2008), semestinya menjadi pegangan gerakan PMII.
Mendorong kader dalam pertarungan perebutan pospos strategis harusnya dimulai dari Rayon, Komisariat, bahkan Cabang. Mengakumulasi kekuatan justru sangat sedikit dilakukan. Mestinya dengan jumlah kader yang tidak sedikit, warga pergerakan di UNG mampu memegang dominasi pertarungan. Pentingnya perebutan ini, adalah upaya menangkal ekspansi kaderisasi yang dilakukan oleh organisasi diluar PMII.
Khususnya UNG, sulit rasanya mahasiswa menghiraukan peran Organisasi Intra kampus. Dengan jaminan pemberian anggaran dari lembaga yang cukup fantastis menjadikan kekuatan tersendiri bagi tersebut. Sehingga dominasi kekuatan PMII juga perlu dibangun melalui leading sector lembaga kemahasiswaan yang ada di kampus.