Oleh: Muhammad Arfen Nizar – Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Opini – Mengikuti konflik bersenjata Israel-Palestina yang memuncak beberapa hari terakhir ini seperti menonton film perang dunia yang diputar ulang. Berulang kali keduanya tersangkut konflik dengan pola yang sama, dengan menimbulkan korban jiwa yang banyak. Begitu yang tiap kali terjadi. Berawal dari kebijakan diskriminatif, kolonialisme, dan represif Israel yang berada di Yerusalem dan sekitarnya yang dilawan oleh penduduk Palestina, dijawab tindakan lebih represif oleh polisi Israel, lalu dibalas tembakan rudal oleh kelompok Hamas di Jalur Gaza, dan dijawab lagi dengan tindakan militer oleh tentara Israel. Pada tanggal 27 Desember 2008, pecah konflik antara keduanya setelah hancurnya gencatan senjata yang disepakati pada Juni 2008.
Komunitas Internasional menekan kedua pihak supaya menghentikan perang, bahkan DK PBB membuat Resolusi 1860 pada 8 Januari 2009 dan konflik masih berlanjut hingga 18 Januari. Akhirnya, masing-masing secara sepihak menyatakan perang senjata. Korban tewas di Palestina mencapai 1.440 orang, sedangkan Israel hanya kehilangan 13 orang. Pada tahun 2012, memuncak lagi konflik yang dimulai tanggal 14 November, setelah Israel melakukan serangan udara di Gaza. Menurut Israel, perbuatan tersebut dilakukan untuk menjawab serangan roket Hamas.
Perang berawal dari hilangnya tiga remaja Israel di tepi Barat pada tanggal 12 Juni 2014. Kemudian, pasukan keamanan Israel melakukan serangan besar-besaran di tepi Barat untuk mencari anak laki-laki yang hilang dan untuk menindak anggota Hamas dan kelompok militan lainnya.
Awal konflik sebenarnya dimulai sejak pertengahan April lalu. Saat itu, terjadi kericuhan di jalan kota Yerusalem, kota yang diklaim kedua negara sebagai ibu kota negara mereka, antara penduduk Palestina dan pihak keamanan Israel. Ketika awal bulan Ramadhan, otoritas Israel memblok Gerbang Damaskus, akses ke Temple Mount atau Haram esh-Sharif, Kota Lama Jerusalem. Tempat itu diyakini berada di bagian timur Gunung Moria, tempat di mana Abraham atau Ibrahim mengorbankan anaknya, Iskak atau Ismail.
Di tempat seluas 144.000 itu berdiri Jami’ Al-Aqsha dan Qubbat As-Sakhrah atau Dome of the Rock atau Kubah Shakhrah dan berbagai situs lainnya. Orang sering pula menyebut Haram esh-Sharif sebagai Kompleks Masjid Al Aqsa. Di Qubbat As-Sakhrah dulu terjadi peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Mi’raj adalah perjalanan Nabi dari bumi menuju Sidratul Muntaha, langit ketujuh, yang merupakan tempat tertinggi. Karena itu, Jerusalem jadi kota tersuci ketiga setelah Mekkah dan Madinah. Jerusalem pernah menjadi kiblat umat Islam pada periode awal sebelum dipindah ke Mekkah.
Sementara orang Yahudi meyakini di kompleks itu dahulu dibangun Kenizah Allah yang pertama dihancurkan oleh Babilonia pada 1000-576 SM dan kedua pada 586 SM-70 M yang dihancurkan oleh Romawi. Selain berkaitan dengan Kompleks Masjid Al Aqsa, awal konflik juga muncul setelah dilakukannya pawai ribuan ultranasionalis Israel pada 6 Mei 2021. Saat itu, terjadi insiden yang menyebabkan eskalasi yang melibatkan pasukan keamanan Israel.
Tentunya, Al Aqsa yang secara agama dan politik penting menjadi salah satu penyebab konflik antara Israel dan Palestina. Setidaknya ada lima sumber kerancuan dalam konflik tersebut, yakni masalah perbatasan, masalah pengungsi, masalah keamanan, masalah sumber daya air, dan status Yerusalem.
Hal lain yang menambah kekacauan dalam proses perdamaian adalah kurangnya kohesi antara Fatah dan Hamas. Namun, pada Februari tahun lalu, dengan bantuan Mesir, para pemimpin Fatah dan Hamas sepakat untuk menyelesaikan perbedaan lama antara kedua negara. Mereka berencana menggelar pemilu tahun ini.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB sedang mempertimbangkan penyelidikan internasional ke Gaza, Palestina. Hal ini terkait dengan pelanggaran “sistemik” dalam pertempuran maut antara Israel dan Gaza, Hamas dan Jihad Islam dalam waktu 11 hari. Pertempuran berakhir pada gencatan senjata Jumat (21/5/2021). Namun, akibat serangan udara dan tembakan artileri Israel, 253 warga Palestina yang sebelumnya berada di Jalur Gaza tewas, termasuk anak-anak, dan 1.900 lainnya luka-luka.
Roket Hamas juga menewaskan 12 orang di Israel, termasuk seorang anak dan remaja Arab Israel. Sekitar 357 orang terluka. Di sisi lain, proposal tersebut juga membutuhkan penyelidikan atas akar penyebab dari tegangan konstan yang menyebabkan ketidakstabilan di wilayah tersebut selama beberapa dekade. Termasuk diskriminasi dan penindasan sistemik berdasarkan identitas kelompok.
Investigasi diperlukan untuk fokus pada pembentukan fakta dan pengumpulan bukti dan bahan yang dapat digunakan dalam proses hukum. Pastikan bahwa pelaku dimintai pertanggungjawaban. Rancangan teks tersebut mengatakan: “Impunitas sistematis dan jangka panjang untuk pelanggaran hukum internasional telah menggagalkan keadilan, menciptakan krisis perlindungan, dan merusak semua upaya untuk mencapai solusi yang adil dan damai.” Tidak jelas apakah Dewan Hak Asasi Manusia PBB Memadai dukungan akan diberikan untuk solusi ini.
Organisasi yang beranggotakan 47 orang tersebut akan melakukan diskusi khusus pada Kamis (27/5/2021). Seperti kita ketahui bersama, 20 anggota Dewan HAM PBB adalah pendukung proposal tersebut. Mereka adalah bagian dari 66 negara yang mendukung penyelenggaraan pertemuan khusus yang diprakarsai oleh Pakistan dan Palestina. Pada saat yang sama, ketika Duta Besar Israel untuk Jenewa mengumumkan berita tersebut, Melaf Elon Shahar mendesak negara-negara anggota untuk menentangnya.
Pada akhirnya harus diakui bahwa upaya penyelesaian konflik di abad ini masih belum jelas. Ketidakadilan, ketidakamanan, dan penderitaan yang dialami oleh orang-orang Palestina yang tinggal di daerah antara Sungai Yordan dan Mediterania memang sangat besar. Semua ini terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Pada saat yang sama, Israel memperdalam kekuasaan dan kendali atas Tepi Barat; dan kehidupan rakyat Palestina, jika konflik saat ini berlanjut, saya khawatir akan ada pemberontakan ketiga, yang selanjutnya akan meningkatkan penderitaan mereka, dan perdamaian tidak bisa ditemukan