Problematika Rapid Test

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Oleh: Sagita Wiryawan – Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Opini – Memasuki tahun 2020, dunia dikejutkan dengan adanya infeksi virus covid-19. Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China ini seiring berjalannya waktu berkembang cepat, bahkan hingga ke seluruh belahan dunia. Para ahli mengungkapkan ada beberapa faktor yang menyebabkan virus ini cepat sekali penyebarannya, selain karena faktor struktur penyusunnya penyebab lain yang mempercepat penyebaran virus ini adalah karena virus ini sulit untuk diprediksi atau dideteksi.

Bacaan Lainnya

Tak seperti pada infeksi virus lainnya seperti flu burung,SARS maupun MERS yang umumnya menunjukan gejala yang terlihat, seseorang yang terinfeksi Covid-19 tidak selalu menunjukan gejala yang signifikan atau terlihat, tak jarang justru seseorang yang tidak menunjukan gejala apapun ternyata sudah terinfeksi virus ini. Maka dari itu seluruh negara termasuk Indonesia menggalakan adanya skrining atau deteksi awal Covid-19. Sebenarnya ada beberapa metode atau alat screening Covid-19, tapi yang paling umum digunakan di Indonesia ialah Rapid Test.

Namun Rapid Test yang diharapkan dapat membantu proses screening sehingga dapat menekan angka penyebaran Covid-19 di Indonesia, nyatanya malah sebaliknya. Justru angka infeksi virus Covid-19 kian meningkat tajam. Masyarakat akhirnya meragukan terkait efektivitas Rapid Test. Keraguan ini bukan tanpa alasan, pasalnya pernyataan tentang keefektifan Rapid Test ini juga diungkapkan oleh beberapa ahli, mereka mengungkapkan bahwa Rapid Test tidak efektif digunakan sebagai langkah awal deteksi virus covid.

Hal ini disebabkan karena penggunaan Rapid Test hanya efektif apabila dilakukan pada 14 hari terakhir masa inkubasi virus di dalam tubuh. Itu berarti jika pemerintah menggunakan Rapid Test sebagai alat screening atau deteksi awal, hal tersebut ialah tindakan yang salah. Karena masih sangat memungkinkan terjadinya salah diagnostik sehingga banyak kasus infeksi Covid-19 yang tak terdeteksi atau lolos. Para ahli juga menambahkan bahwa Rapid Test itu lebih ditujukan untuk mendeteksi keberhasilan vaksinasi atau mendeteksi seberapa parah kondisi wilayah terdeteksi Covid-19, bukan untuk skrining atau deteksi awal. Akibatnya angka infeksi bukannya dapat ditekan, justru kian melonjak.

Seperti yang terjadi di kota Semarang, Jawa Tengah. Rapid Test massal yang diadakan pemerintah daerah Semarang justru menyebabkan lonjakan baru pasien Covid-19, yang sebelumnya berkisar 300 orang menjadi 610 orang yang positif Covid-19. Rapid Test massal ini justru menjadi cluster baru peningkatan kasus Covid-19 di Semarang. 

Peristiwa ini dapat terjadi karena Rapid Test sendiri hanya mengidentifikasi keberadaan antibodi terhadap virus di dalam tubuh, jika ada antibodi terhadap virus lain misalnya flu meskipun itu bukan virus Covid-19 maka memungkinkan juga hasilnya akan reaktif. Hal ini dapat memicu terjadinya false negative dan false positif , yaitu suatu kondisi dimana hasil tes menunjukan negatif padahal sebenarnya positif atau bisa juga sebaliknya, hasil tes menunjukan positif padahal sebenarnya negatif.

Jika diartikan misalnya ada 50 orang yang melakukan Rapid Test,hanya 15 orang yang benar-benar terinfeksi, sisa 35 orang sebenarnya bisa saja telah terinfeksi namun lolos dari deteksi Rapid Test. Itulah mengapa World Health Organization (WHO) tidak menyatakan Rapid Test sebagai alat skrining atau deteksi awal Covid-19, WHO selama ini menggunakan Rapid Test hanya untuk penelitian bukan sarana mengkonfirmasi positif atau negatifnya infeksi covid. WHO bahkan tidak pernah memasukan hasil Rapid Test ke perhitungan konfirmasi kasus corona.

Ada baiknya pemerintah mulai menggalakkan metode atau alat screening lain dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan Rapid Test antibodi, misalnya dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Cara kerja PCR Test diawali dengan pengambilan sampel dahak,lendir atau cairan nasofaring yang kemudian akan diteliti di laboratorium. Itu mengapa pemeriksaan ini dinilai lebih tinggi tingkat akurasinya karena langsung mendeteksi keberadaan virus corona, buka melalui antibodi terhadap virus yang ada dalam tubuh, sehingga tidak akan menyebabkan terjadinya false negative seperti pada Rapid Test. 

Sering terjadi kasus dimana seseorang sudah dinyatakan negatif dengan Rapid Test, namun ketika dilakukan PCR hasilnya justru positif. Itulah mengapa Rapid Test tidak disarankan. Bahkan WHO sendiri menjadikan PCR sebagai standar screening Covid-19 bukan Rapid Test. Negara tetangga seperti Malaysia juga lebih memilih PCR untuk screening awal.

Selain karena dapat menyebabkan terjadinya false negative , problematika lain dari penggunaan Rapid Test adalah kekhawatiran Rapid Test dijadikan sebagai ladang bisnis. Pada era New Normal seperti saat ini,perlu adanya Surat Keterangan Bebas Covid-19 jika ingin bepergian,mendaftar kerja,mendaftar perguruan tinggi dsb. Tak jarang hal ini dimanfaatkan beberapa oknum untuk keuntungan pribadi. Memang untuk biaya Rapid Test sendiri pemerintah sudah menetapkan Rp 150.000,00 sebagaI harga maksimal Rapid Test. 

Namun itu baru untuk Rapid Test saja, sedangkan untuk mendapatkan Surat Keterangan Bebas Covid-19 masyarakat harus membayar biaya tambahan. Harga tersebut bervariasi mulai dari 150 ribu hingga ada yang mematok hingga 950 ribu untuk selembar surat ini. Rapid Test-pun sekarang juga diperjual belikan secara bebas, hal ini ditakutkan justru dapat menjadi sarana penyebaran baru covid jika bukan dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Itulah mengapa penerapan Rapid Test sebagai alat screening ini menimbulkan perdebatan, sebagian orang bahkan berpendapat bahwa lonjakan angka kasus Covid-19 ini disebabkan karena pemerintah yang dari awal salah langkah memilih Rapid Test sebagai alat screening, padahal WHO tidak menyarankannya, akhirnya penyebaran covid semakin tidak terkendali. Jika saja pemerintah dari awal mendengarkan WHO untuk menggunakan PCR sebagai metode skrining atau deteksi awal covid,mungkin penyebaran covid dapat lebih ditekan.

Bahkan Singapura berhasil menekan kasus penularan Covid-19, selain karena protokol kesehatan yang sangat ketat disana namun juga karena diterapkannya PCR sebagai screening covid, jadi virus ini dapat terdeteksi dari awal, hal serupa juga dilakukan di Malaysia yang lebih memilih PCR daripada Rapid Test.

Maka dari itu, dibanding mengandalkan Rapid Test untuk deteksi awal atau screening yang terbukti rendah akurasinya dan dapat menimbulkan banyak problematika lain. Pemerintah mestinya beralih menggunakan metode yang akurasinya lebih tinggi seperti PCR. Anggaran yang tadinya dialokasikan untuk Rapid Test bisa dialihkan untuk pengadaan PCR Test dengan harga yang lebih murah tentunya,sehingga semua kalangan masyarakat dapat melakukan tes ini. 

Jika hal tersebut dilakukan maka bukan tidak mungkin angka penyebaran Covid-19 dapat ditekan secara signifikan. Sudah waktunya pemerintah lebih cermat dalam memilih metode atau alat screening, supaya tidak mengulangi kesalahan seperti pada penerapan Rapid Test ini.

Pos terkait