Oleh: Attila Khansa Rayhan – Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Opini – Nadiem Makarim pada pidatonya menyatakan rencana pembelajaran tatap muka dilaksanakan pada Juli 2021. Hal ini disampaikan oleh Nadiem Makarim karena pemerintahan Indonesia telah memberikan vaksin gratis kepada masyarakat. Dengan ini tumbuh harapan bagi siswa-siswi Indonesia untuk memberlakukan pembelajaran tatap muka.
Ternyata hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di lapangan. Sejak Juni 2021 yang lalu, angka positif covid-19 meningkat tajam. Sejumlah rumah sakit dan wisma atlet dipenuhi oleh pasien-pasien yang terpapar virus covid-19. Tentu saja hal ini yang menjadi pertimbangan untuk memulai pembelajaran tatap muka.
Akibat meningkatnya kasus positif covid-19, pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk membatalkan rencana pelaksanaan pembelajaran tatap muka. Hal ini tentu saja berimbas pada performa para pelajar. Tidak sedikit pelajar yang mengeluhkan bahwa pelaksanaan pembelajaran jarak jauh ini tidaklah efektif. Lantas apakah yang menyebabkan kurang efektifnya pelaksanaan pembelajaran jarak jauh ini?
Seperti yang kita ketahui, pengajar Indonesia cenderung gagap akan teknologi. Para pengajar yang sudah berumur tersebut mengalami keterbatasan dalam penggunaan teknologi dan internet. Selain itu, para pengajar mengalami keterbatasan untuk menatap layar dalam waktu yang cukup lama dikarenakan faktor usia.
Hal ini menyebabkan proses belajar mengajar menjadi terhambat karena keterbatasan para pengajar untuk memberikan materi kepada para pelajar. Masalah dalam pembelajaran jarak jauh ini tidak hanya diakibatkan dari sisi pengajar saja. Keterbatasan pelajar untuk mengakses internet juga merupakan suatu hal yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Tidak semua pelajar dapat mengakses internet karena keterbatasan biaya dan tempat tinggal yang berada di daerah terpencil.
Pemerintah hanya mendistribusikan kuota belajar pada awal pelaksanaan pembelajaran jarak jauh. Pendistribusian kuota ini pun tidak dirasakan oleh seluruh pelajar, pada kenyataan yang terjadi di lapangan masih banyak pelajar yang tidak mendapatkan kuota belajar dari pemerintah.
Tentu saja kebijakan pembelajaran jarak jauh yang diambil oleh pemerintah memiliki sisi positif dan negatif pula. Pembelajaran jarak jauh diambil dengan alasan kesehatan pelajar dan pengajar dan menghindari penyebaran kasus positif Covid-19 klaster sekolah. Langkah yang bisa diambil pemerintah ialah mengoptimalkan pembelajaran jarak jauh agar tetap mencetak pelajar yang cerdas di tengah pandemi ini.
Pendistribusian kuota belajar yang merata untuk para pelajar dan bimbingan teknologi untuk para pengajar adalah suatu langkah besar yang dapat mengoptimalkan pembelajaran jarak jauh ini.