Oleh: Queen Salsabila Jasmine – Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
Opini – Konflik Xinjiang pada dasarnya merupakan konflik yang berangkat dari kesenjangan ekonomi, melibatkan dua etnis di China, yaitu etnis Han dan etnis Uighur. Perekonomian China yang telah dikuasai oleh etnis Han sejak tahun 1940-an ini menyulut kecemburuan etnis Uighur. Pasalnya, terlalu banyak masyarakat dari etnis Uighur yang hidup di bawah garis kemiskinan di tengah perkembangan ekonomi negara yang kian membaik. Ideologi komunisme yang dianut oleh pemerintah China menjadi alasan mengapa pemerintahan di negara tersebut sangat tersentralisasi dan sulit menerima heterogenitas. Ditambah lagi, kebijakan-kebijakan represif dan kekuatan militer yang dikerahkan pemerintah China untuk mencegah terlepasnya wilayah Xinjiang dari China justru membuat etnis Uighur semakin terpojok. Pemerintah China pun harus menerima tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia dari berbagai pihak, termasuk Amerika Serikat, yang tidak lain merupakan rival China.
Telah menjadi sebuah rahasia umum di mata dunia, bahwa campur tangan Amerika Serikat dalam konflik Xinjiang memiliki maksud terselubung. Xinjiang merupakan sebuah wilayah yang kondisi geografisnya cukup strategis dan menyimpan kekayaan alam berupa minyak bumi dan gas alam. Hal tersebut mengundang ketertarikan AS untuk menguasai sumber daya yang ada di Xinjiang. Adanya tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah China terhadap etnis Uighur, merupakan sebuah celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak AS sebagai senjata politik untuk menjatuhkan China, yang tak lain merupakan rival bisnisnya.
Berbagai upaya telah dilancarkan AS untuk dapat benar benar menjadikan konflik Xinjiang sebagai senjata pamungkasnya, seperti mengirim jurnalis untuk menggali lebih banyak informasi dan data yang dapat membuktikan bahwa pemerintah China benar-benar melakukan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh seorang jurnalis dari portal berita BBC, disebutkan bahwa sebagian besar warga dalam kamp konsentrasi Xinjiang dipekerjakan secara paksa. Selain itu, pemerintah China dengan tindakan represifnya memaksakan ideologi komunis terhadap muslim Uighur. Sayangnya, pemerintah China tidak serta merta mengakui segala tuduhan tersebut. Hal ini membuat hubungan kedua negara semakin memanas.
Tensi kedua negara sempat mencapai puncak saat Donald Trump, Presiden AS yang menjabat saat itu, hendak mengesahkan RUU Uighur, yang sontak membuat amarah pemerintah China tersulut. Pasalnya, mengesahkan RUU tersebut sama saja memberi wewenang pada Presiden Trump untuk menjatuhkan sanksi terhadap pemerintah China terkait pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur. Secara menggebu-gebu, China melancarkan serangan balik terhadap pemerintah AS. Pemerintah China mengklaim bahwa pemerintah AS secara sengaja dan ceroboh, telah menodai perjuangan pemerintah China dalam upaya deradikalisasi. Tak hanya itu, pemerintah China juga menuduh bahwa pemerintah AS secara terang-terangan mendukung terorisme.
Dengan memuncaknya tensi antara AS dan China, pernyataan China tentang kecerobohan AS ada benarnya. Alih-alih menyelesaikan konflik Xinjiang dan melindungi hak-hak etnis Uighur, RUU Uighur yang dibuat oleh AS justru menggoreng isu pelanggaran HAM yang sedang dihadapi oleh etnis Uighur, dan menyeretnya ke dalam hubungan bilateral kedua negara yang rawan konflik. Terlebih di balik dalih HAM Uighur, terselip maksud lain untuk mencapai kepentingan nasional AS. Sangat tidak etis apabila AS menjadikan konflik Xinjiang sebagai senjata pamungkas untuk melawan China. Ditambah lagi, perjuangan AS membebaskan etnis Uighur di Xinjiang dari belenggu pemerintah China sangatlah tidak tulus, yang tak lain hanya untuk menguasai sumber daya yang tersedia di wilayah tersebut.
Intervensi pemerintah Amerika Serikat dengan melakukan berbagai macam upaya yang telah disebutkan, hanya akan memperburuk hubungan bilateral kedua negara. Terlebih jika pemerintah AS bertindak secara gegabah, seperti kasus pengesahan RUU mengenai hak asasi etnis Uighur. Memang, tidak ada yang salah dengan sebuah negara yang turun tangan membantu etnis Uighur memperjuangkan hak-haknya. Namun, mengatasnamakan HAM demi memenuhi kepentingan nasional merupakan sebuah tindakan yang sangat hipokritis.
Penegakan HAM bagi etnis Uighur di Xinjiang seharusnya didasarkan pada asas-asas kemanusiaan dan imparsialitas, demi menjaga perdamaian dunia, sesuai dengan misi peacekeeping PBB. Menjadikan isu tersebut sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan bisnis, merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan, karena melenceng jauh dari prinsip penegakan HAM, apalagi AS merupakan sebuah negara berhaluan liberal, yang senantiasa menitik beratkan segala sesuatu pada kesetaraan hak-hak perseorangan.
Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang melibatkan pemerintah China dan etnis Uighur di Xinjiang, merupakan sebuah keprihatinan yang harusnya membangkitkan empati dan kemanusiaan masyarakat di seluruh dunia, terlepas dari bias etnis, kewarganegaraan, maupun agama. Alih-alih menegakkan HAM, sikap pemerintah AS justru menimbulkan kesan bahwa mereka sedang memanfaatkan penderitaan etnis Uighur demi keuntungan dan kepentingan nasional mereka.