Melindungi Perempuan dan Anak, Ini Cara Wali Kota Gorontalo

Wali Kota Gorontalo, Marten Taha saat memberikan sambutan di kegiatan koordinasi lintas sektor dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaksanakan di Aula Kantor Wali Kota Gorontalo, (Foto: Humas Pemkot Gorontalo)

Penadata, Gorontalo – Wali Kota Gorontalo, Marten Taha membuat program Three Ends Plus atau tiga akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia, dan akhiri kesenjangan perempuan di bidang politik.

Program strategis ini bertujuan untuk mengakhiri dan meminimalisir segala bentuk kekerasan, dekriminalisasi, serta praktek perdagangan orang. Hal itu merupakan untuk mendukung program unggulan Pemerintah Pusat.

Bacaan Lainnya

Hal itu disampaikan Marten saat membuka kegiatan koordinasi lintas sektor dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaksanakan di Aula Kantor Wali Kota Gorontalo, Selasa (6/7/2021).

Marten menjelaskan perjuangan untuk melahirkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang memihak kepada kepentingan terbaik anak cukup panjangan, seiring dengan pasang surut berbagai kepentingan dan situasi multi krisis berkepanjangan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia di tengah penyebaran virus Covid-19.

“Intimidasi dan dipermalukan adalah hal yang biasa terjadi di sekolah-sekolah dengan 18 persen anak perempuan dan 24 persen anak laki-laki terpengaruh. Anak laki-laki terutama menghadapi risiko serangan fisik di sekolah,” kata Marten Taha

Marten menambahkan Guru sering menggunakan hukuman fisik dan emosi untuk mendisiplinkan anak-anak. Menurutnya, guru juga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengenali dan melaporkan kekerasan dan merujuk siswa ke layanan untuk mengatasi masalah yang mereka alami.

“Anak perempuan remaja cenderung lebih rentan terhadap praktik tradisional yang berbahaya seperti perkawinan anak dan mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) dibandingkan anak laki-laki satu dari tiga anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun,” ujar Marten

“Dan anak-anak perempuan dari keluarga termiskin lima kali lebih mungkin menikah pada usia sangat dini dibandingkan teman-teman mereka yang lebih kaya. Tingkat mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) masih tinggi, yaitu 83 persen di Gorontalo,” sambungnya

Marten menambahkan perkawinan anak, selain melanggar hak-hak anak dengan memaksa mereka berhenti sekolah, juga mengakibatkan kemiskinan antargenerasi, merusak pendidikan jangka panjang mereka, kemampuan untuk mencari nafkah, dan ironisnya pada masa pandemi Covid-19 saat ini malah bertambah jumlahnya.

“Di sisi hukum, kekerasan terhadap anak belum dilarang dalam semua pengaturan dan sistem keadilan untuk anak-anak belum memprioritaskan perlindungan bagi semua anak yang berurusan dengan hukum,” ucapnya

Namun, kata Marten, anggaran pemerintah didedikasikan untuk melindungi anak-anak dari kekerasan hanya kurang dari 0,1 persen dari total anggaran prosedur administrasi publik yang kompleks dan kurangnya kewenangan yang diamanatkan untuk perlindungan anak mengakibatkan kesulitan dalam menyediakan layanan yang efektif untuk anak-anak yang rentan.

“Selain itu, masih adanya anak-anak dibawah usia 18 tahun tidak memiliki akta kelahiran yang menyebabkan mereka sulit untuk mengakses layanan utama,” tuturnya

Ia mengatakan dalam berbagai wacana hak perempuan yang muncul kepermukaan, wacana disekitar kekerasan terhadap perempuan selalu menarik perhatian. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat dilihat dalam kejadian. Kejadian tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga, teman, majikan, maupun oleh orang dewasa lainnya.

“Kekerasan sangat dekat dengan perempuan dan sering terjadi dalam rumah tangga (KDRT) maupun diluar rumah tangga. Terhadap kekerasan-kekerasan tersebut tersebut muncul gugatan-gugatan yang bermuara untuk lebih menghargai hak perempuan sebagai bagian gerakan yang mengajak untuk lebih memberi penghargaan terhadap martabat kemanusiaan,” jelasnya

Menurutnya, fenomena kekerasan yang dialami perempuan sedikit banyak terkait dengan konstruksi sosial yang melahirkan relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial ini terbentuk dalam budaya masyarakat yang diwarnai nilai-nilai yang cenderung patriarki.

“Struktur budaya masyarakat seperti ini seringkali mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan oleh kaum laki-laki dan terjadi hambatan bagi kemajuan kaum perempuan,” katanya

Pemerintah Kota Gorontalo dalam menyikapi semua persoalan diatas pada tahun 2016 telah membuat kebijakan pemerintah dalam membentuk peraturan daerah Nomor 7 Tahun 2016 tentang perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan.

Hal ini, kata Marten, semata-mata dilakukan untuk melindungi perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan serta pemenuhan terhadap hak-hak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.

“Pemerintah Kota Gorontalo dalam upaya memaksimalkan apa yang telah diamanatkan oleh peraturan daerah tersebut, melalui dinas pengendalian penduduk, KB, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak telah membentuk lembaga layanan baik penanganan maupun rujukan berupa pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A),” ujarnya

Ia mengatakan satuan tugas perlindungan perempuan dan anak (Satgas-PPA) yang tersebar di lima puluh kelurahan di Kota Gorontalo sebagai lembaga layanan penjangkauan dan penanganan perempuan keluarga (PUSPAGA) dan forum partisipasi publik untuk kesejahteraan perempuan dan anak (Forum PUSPA) sebagai lembaga rujukan pemulihan dan pemberdayaan perempuan dan anak korban kekerasan.

“Sehingga kita membuat program Three Ends Plus atau tiga akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia, dan akhiri kesenjangan perempuan di bidang politik,” tutup Wali Kota Gorontalo, Marten Taha

Pos terkait