- Sejak 2018 lalu, Kota Gorontalo menggiatkan program menuju kota layak anak
- Kota Gorontalo telah menerbitkan Perda Nomor 7 Tahun 2019 tentang Kota Layak anak
Di Gorontalo cuaca tak seperti biasanya. Di Sabtu itu, waktu tengah menunjukkan pukul 10 pagi, sementara awan mendung menutupi keindahan langit. Terlihat peleton burung terbang entah kemana. Kabar kematian akibat pandemi covid-19 masih menghiasi laman social media. Entah kapan situasi ini akan kembali normal.
Suara pengamen jalanan kalah oleh bising kenderaan yang tengah berhenti di traffic light. Sementara ditepi jalan, terlihat anak kecil berjilbab duduk terlelap mendekap sebuah wadah yang berisi kue; pisang goreng, moleng, dan risoles. Dilihat dari perawakan, ia berumur 10-12 tahun. Tasya namanya, pedagang kue keliling di kota layak anak.
Tak ada warga pejalan memperdulikan tasya. Begitu pun mereka—manusia, yang dikendalikan traffic light, yang senantiasa patuh dengan kode warna. Mereka dituntut lebih cepat merespon Globalisasi. Ibaratnya; Siapa cepat, ia dapat. Begitulah kehidupan kota. Ia terus bersolek megah, namun abai pada hal-hal kecil di sekelilingnya.
Yang nama kota, pada ujungnya megubah watak social warga menjadi individualis lalu abai pada tetangganya. Kehidupan ini sangat beda dengan meraka yang hidup di desa. Di sana punya jalinan kehidupan erat — saling menolong, empati satusama lain.
Terlihat seseorang menghampiri tasya sedang lelap ditiup angin. Lelaki tua berjacket hijau turun dari motornya. Mendekati Tasya dan membangunkannya. Tasya sepertinya lelap sekali. Anak malang itu terbangun setelah orang tadi menepuk bahu tasya. Ia terjaga dari tidur lelap dan segera memperbaiki duduknya.
Bunyi klakson berbagai kenderaan saling bersahutan tak karuan. Pandangan saya tak berpaling dari mereka. Terlihat lelaki tua itu membeli jajanan taysa. Tak berselang lama, lalu pulang.
Ada rasa cemas ketika melihat anak kecil seperti tasya, yang belum kuat menghadapi perihnya kota. Anak-anak seperti ini rentan dengan tindak kekerasan. Namun asumsi ini terpatahkan begitu saja. Bisa saja asumsi yang terus berkelindan lantaran banyak mengonsumsi situasi kota lain, yang menyuguhkan situasi beragam kekerasan. Lagi, yang namanya kota, ada seribu macam kejahatan disana.
Dunia tasya bukan bekerja menghidupi keluarga, melainkan bermain. Ekonomi memaksa taysa ikut andil menopang kehidupan keluarga, yang serba pas-pasan itu. Mungkin saja hari itu adalah hari baik baginya. Namun siapa sangka dikemudin hari? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berkelindan. Saya hanya berdoa, semoga tasya akan baik-baik saja dalam langkah menapaki kota ini.
Duapuluh menit berlalu, waktunya berpaling dari tasya yang terlihat tak beranjak. Motorku sedikit melaju menuju sebuah toko, yang tak jauh dari titik dimana saya mengamati tasya. Toko yang berada di pusat perbelajaan di Kota Gorontalo itu bernama Orion. Saat berkendara terbesit dalam hati saya;
“Bisanya anak kecil seperti tasya mengorbankan masa kecilnya berjualan. Ia mestinya belajar dan bercita-cita, bukan bekerja. Apakah Ia melakukan ini karena paksaan, atau seperti apa?”, tanyaku dalam hati
Diera ini, anak-anak seperti tasya tak lagi berpikir bagaimana membantu orang tua. Mereka justru menghabiskan waktu bermain game ataupun nongkrong.
“Aku tak sanggup melihat, jika situasi yang dialami tasya itu dilakoni adikku. Aku pasti tak sanggup”
Setelah membeli barang di sebuah toko, terlintas keinginnan untuk mengamati keadaan tasya lagi. Apakah dia masih ditempat itu atau sudah jalan?
Sesampainya ditempat tasya, dari kejauhan aku melihat wajah wanita kecil itu seperti khawatir dan panik. Ku parkir motor tak jauh dari posisinya dan sambil berteduh dibawah pohon. Ia kelihatan gelisah. Entah apa yang barusan terjadi. Aku mengajak dia untuk berteduh dari panasnya mentari dan bertanya langsung apa yang ia alami
Dengan cepat ia mendekatiku, sembari menyembunyikan kesedihanya
“Kamu jualan apa?” tanyaku
“Saya jualan pisang goreng, moleng dan risoles. Kak mau beli apa?”
“Oh iya, mari kita duduk dulu.” pintaku
Perlahan anak itu mengeluarkan sambal pelengkap gorengan, sembari mengutarakan kesedihan yang baru saja ia alami.
“Saya pikir kakak orang yang membeli kue tadi,” ucap anak itu dengan wajah sedih
“Memangnya kenapa dengan orang itu”, tanyaku
“Iya, sampai saat ini dia belum kembali membayar makanan yang dibeli.”
“Kok bisa Ia pergi tanpa bayar dulu?” tanyaku lagi dengan jelas.
Ia bercerita bahwa beberapa menit lalu lelaki tua datang membeli jajanannya. Orang tadi, kata tasya, membeli kue seharga 5ribu. Ia menyodorkan uang 100ribu, sementara tasya tak punya uang kembali sebesar itu.
Sepertinya ini modus yang dilakukan orang-orang kota yang hendak menipu pedangang takberdaya dan kritis. Lalu lelaki itu pun izin pamit menukar uang dan meminta tasya menunggu. Dan benar, sampai detik itu, lelaki tua tak kunjung datang.
Tasya sangat sedih menceritakan apa yang baru saja ia alami. Menurutnya, kejadian seperti itu bukan kali pertama.
“Jika kejadian ini terulang, ibu akan marah. Jajanan berkurang, uang yang saya terima tak sebanding dengan jajanan yang laku”, keluh Tasya.
Sambil menikmati jajanannya, aku terus mendengarkan kisahnya yang amat pilu itu. Ia merekam kepedihan setiap berjualan keliling. Mestinya, diusianya saat ini, tasya tak memiliki beban hidup laiknya anak-anak sebayanya. Waktu berjualan mestinya ia manfaatkan bermain peta umpat, tengge-tengge, boneka barby dan bola ponti bersama temannya demi mengisi waktu kecil.
Hari itu bukanlah hari yang baik bagi tasya. Ia tak hanya merasa ditipu lelaki tua tadi, tapi juga harus mengganti tas kresek sebagai alat pembungkus jajanan ketika pembeli membeli jajanannya. Cerita ini pun ia bagikan kepadaku saat itu.
“Apakah kakak tahu warung dekat sini yang menjual tas plastik?”
“Aku tidak tahu. Mungkin saja ada penjual dekat sini. Apa tas plastikmu sudah habis?”,
Mendengar pertanyaanku, Tasya mempebaiki cara duduknya. Sesekali tanganya memperbaiki jilbab yang menghiasai wajahnya yang manis itu. Ia bercerita, bahwa seorang Ibu bersama anak kecil datang membeli jajanannya. Saat Ibu menikmati pisang goreng, anaknya merobek-robek tas plastik tanpa pengawasan darinya. Sampai-sampai kata tasya, tak satupun tas plastik yang dipegang sang anak itu masih utuh dan layak dipakai, semuanya hancur.
Melihat hal itu, tasya tidak bisa berbuat apa-apa lantaran Ia mengira Ibu itu akan mengganti kerugian akibat ulah anaknya. Namun asumsi itu tak sesuai harapan tasya. Ibu itu tidak mau mengganti rugi. Ia hanya menyarankan tasya membeli kembali tas plastik, bukan menuntutnya menukar tas yang telah di robek anaknya. Selain itu, ibu itu pun tak minta maaf . Pedih sekali bukan?
Cuaca mulai gelap, seperti gelapnya beban hidup tasya. Burung-burung beterbangan mencari tempat aman. Hujan sepertinya akan turun tak lama lagi. Pengendara berhenti menatap traffic light menunggu lampu hijau sesekali memalingkan muka kepada kami yang sedang duduk. Tasya sangat peka dan ingat siapa saja orang-orang yang pernah menipunya saat berjualan keliling.
Ia bahkan menyapa nama-nama orang-orang yang pernah menipunya saat berhenti di traffic light meski mereka seolah-olah tidak terlihat melakukan penipuan padanya. Ia menegur orang-orang itu, namun tidak di respon karena takut ketahuan. Sudah sejam menunggu, lelaki tua yang beralasan menukar uang tak kunjung tiba. Rupanya ia tak punya kepekaan, jika hal itu terjadi pada anaknya atau pun keluarga.
Sungguh manusia-manusia seperti itu tak layak diberi kenikmatan Tuhan. Aku hanya berdoa, semoga kelak tasya dan keluarganya dilimpahkan rezeki dan senantiasa bersyukur
“Tasya, kita sudah satu jam lebih berbincang. Tapi lelaki yang menukar uang belum kembali,”
“Tidak apa. Yang Ia makan juga seharga 5ribu. Saya punya tabungan untuk menutupi kekurangan hari ini.” Tasya menimpali.
Aku harus segera pulang sebelum hujan turun. Pekerjaan sedang menunggu. Tapi saat hendak pamit pulang, aku seperti dipaksa kembali untuk mendengar kisahnya kembali.
Tasya mengalami kekerasan. Ia pernah ditampar seseorang saat menjual nasi kuning keliling. Astaga! Aku sesak napas, seperti ditusuk trypot berulang-ulang dihati usai mendengar kisah terakhir. Terpaksa aku mengurungkan niat kembali ke kosan. Penasaran, segera mengorek-ngorek kekerasan yang ia alami
Tasya bercerita, saat berjualan keliling, ia menelurusi gang-gang sempit menuju rumah-rumah penduduk. Ditengah gang, seorang wanita berwajah kusut datang menghampiri tasya dan membeli nasi kuning jajananya. Ketika wanita tadi hendak membayar, ia keberatan dengan harga yang telah dipatok seharga 5ribu per bungkus. Alasanya, harga nasi kuning yang di jual tasya tidak sama harganya dengan nasi kuning yang di jual tetangganya 3ribu per bungkus.
“Jika ibu keberatan tidak usah beli nasi kuning saya”, kata tasya dengan kesal
Mendengar nada lantang dari anak kecil, wanita itu langsung menampar tasya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Tak hanya menampar, wanita itu juga membawa sebungkus nasi kuning tanpa dibayar. Air mata tasya tak terbendung. Tasya setiap saat diperlakukan dengan kejam oleh mereka yang mestinya menjadi kakak bagi dia. Mendengar kisah tasya, ibarat senior dalam ospek yang kejam menyiksa mahasiswa baru.
Kejadian-kejadian seperti ini sungguh memprihatinkan. Mereka mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Mestinya orang-orang yang merperlakukan tasya tak wajar menjadi panutan hidup, bukan menindas.
Tasya tak lagi bersekolah. Ia terpaksa berjibaku membantu kebutuhan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Bapaknya bekerja serabutan. Sementara ibunya, membuat kue di rumah. Mereka tinggal disebuah rumah sempit. Anak kecil seperti tasya tak layak disebuah kota, yang konon katanya kota layak anak.
Kisah tasya adalah cerminan kota, yang hanya mengejar prestise ketimbang prestasi. Sebuah kota mestinya menunjukan keunggulan peradaban manusia, bukan melahirkan manusia-manusia tengik-penindas.
Oleh: Rodney Neu , Pegiat PSK (Pengamat Sekitar Kota)