Oleh: Samsi Pomalingo (Ketua PW IKA PMII Provinsi Gorontalo, 2017-2022)
Opini – Hari ini orang beramai-ramai memposting pelaksanaan shalat idul fitri di setiap rumah, sekalipun tidak semua karena ada sebagian orang lain yang shalat di masjid maupun di lapangan karena kekesalan mereka terhadap pemerintah yang menutup masjid membuka pasar dan mall di tengah pandemi corona. Setelah salat idul fitri saya dan keluarga menikmati burasa, acar ikan tuna dan kuah bugis. Selesai makan duduk dan membuka whatsapp dan banyak pesan yang masuk dengan kalimat “Minal aidin wal faidzin mohon maaf lahir batin 1441 hijriyah.” Ada juga yang mengirim dalam bentuk foto.
Ternyata banyak yang meminta maaf, maklum tidak ada manusia tidak pernah salah. Setelah itu saya membuka facebook, dan di facebook saya melihat orang ramai-ramai memposting sholat ied di rumahnya. Orang-orang yang melaksanakan shalat di rumah alasannya bervariasi. Ada yang mengikuti anjuran pemerintah dan majelis ulama indonesia untuk shalat di rumah, ada yang karena takut akan bahaya terinfeksi virus corona, ada yang “terpaksa” karena tidak tahu sholat di mana.
Di kampung saya di Dehualolo, kira-kira pukul 06.00 melihat orang-orang berjalan mengenakan mukena dan saya tidak tahu kemana mereka hendak melangkah untuk bepergian salat idulfitri. Saya mengikuti mereka dan bertanya mau salat di mana? mereka menjawab di lapangan. Saya tanya kenapa tidak shalat di rumah? tidak ada yang bisa jadi imam dan khatib. Saya termenung dan peran ke rumah dalam benak pikiran saya ada 1000 pertanyaan tapi Saya berasumsi bahwa mereka pasrah dengan keadaan yang ada. Kalaupun mati itulah ajal yang telah ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di tengah pandemi COVID-19.
Pada pukul 15 titik 00 saya membuka kembali Facebook, ternyata ada postingan lagi tentang kelompok-kelompok keluarga yang shalat di rumah. Saya tidak tahu apakah ini gejala yang menunjukkan kedisiplinan yang harus di publish di tengah-tengah orang yang tidak disiplin, ataukah ingin menunjukkan kesalehan kelompok keluarga yang mesti dipertontonkan di wilayah public? ataukah ini gejala dari postmodernisme? atau gejala poster truth? Saya tidak tahu. Yang saya tahu bahwa ruang publik akhirnya menjadi kotor di balik sucinya identitas kelompok. Karena publik mulai dipertontonkan dengan keseharian yang semestinya tidak perlu orang lain mengetahuinya. Kalau dalam pandangan teologis jika ingin melakukan kebajikan tidak perlu orang lain mengetahuinya. Artinya kebajikan tidak perlu di umbar-umbar di wilayah public titik biarlah anda dengan Tuhanmu yang tahu akan perbuatan baik mu.
Oleh orang lain, mempertontonkan kesalahan di wilayah public maka sebenarnya yang muncul adalah fenomena dusta, ilusi, kepura-puraan, dan hoaks. Karena agama hanya dijadikan jubah untuk membungkus tubuh dan tidak untuk menjadi bersih hati dan perbuatan. Itulah manusia, oleh Adelbert Snijders (2008) manusia itu makhluk yang memiliki segala keunikan dan juga paradoks.
Saya sedang tidak menggugat religiusitas seseorang, tetapi biarlah kesalahan itu terbungkus dengan Iman bukan Ria, karena itu akan lebih mendatangkan kuantitas pahala dan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jangan menganggap Tuhan itu buta dan tuli, karena ia dapat melihat amal ibadah setiap hambanya. Sekalipun itu dianggap sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan tapi tidak perlu di visualisasi dan dipertontonkan di wilayah public. karena ketika perbuatan itu dipublish di Facebook yang bisa kita lakukan adalah mengklik like jika makin banyak yang “like” maka makin tinggi kepuasan kesalehannya.
Gejala diatas maka menunjukkan gambaran manusia di era post modernisme. Dimana kondisi ini pada satu titik menyebabkan masyarakat modern yang begitu identik dengan masyarakat konsumsi karena iklan iklan di media massa secara terus-menerus mengkonstruksi Bagaimana segala sesuatu di dalam kehidupan harus berjalan sehingga dapat dikatakan ideal. Ciri ini dikonstruksi oleh manusia semacam mengiklankan kesalehan di ruang-ruang publik amal ibadah dikonstruksi seperti produk yang diiklankan di media sosial Apakah dengan tujuan mempengaruhi orang lain untuk mengikutinya atau justru ingin memperoleh penilaian atas amal ibadahnya.
Dalam bahasa agama jika amal ibadah dipertontonkan di ruang-ruang publik dengan secara sengaja itu menunjukkan perbuatan Riya atau pamer yang tidak ada nilai pahalanya. Apalagi di tengah pandemi covid 19 jika terlalu berlebihan ini akan memberi efek negatif dalam kehidupan rumah tangga orang lain. Bisa jadi istrinya mengatakan “lihat suaminya si anu bisa imam dan khatib kamu bisanya apa”, atau juga bisa memunculkan kecemburuan pada diri anak-anak “Lihat Bapaknya si anu bisa jadi imam, papa sendiri tidak bisa apa-apa, dan lain sebagainya.
Mari kita bertanya dalam diri kita masing-masing kenapa Tuhan tidak terlihat karena Tuhan adalah simbol kebajikan dan kesalehan maka kebajikan dan kesedihan yang kita pertontonkan tidak perlu terlihat oleh orang lain. Biarlah kita dan Tuhan yang mengetahuinya, semoga bermanfaat.