Kotak Nasi 

Ilustrasi makanan kotak (Foto: Pixabay.com)

BAGAIMANA harus aku jelaskan soal hal ini. Pikirku, dia pasti marah padaku. Ah, bodohlah, toh juga bukan aku yang salah. Mereka-mereka itulah yang salah. Toh mereka tidak punya alasan untuk menggeledah bagasi motorku. 

“Buka. Buka bagasinya,” ujar salah seorang dari mereka terhadapku dan teman-temanku. 

Bacaan Lainnya

Aku mulai tak karuan. Kunci motor ‘ku sembunyikan di tempat paling aman. Di mana hak privasi kita masih dihargai. Di kantong celanaku. 

“Alah, kau yang sembunyikan kunci itu kan?” Tanya mereka. 

Ingin kujawab pada mereka itu yang berbajukan dari uangku, bersepatukan dari uangku bahwa, emang kenapa kalo kuncinya ada padaku. Toh bukan uangmu yang aku pakai untuk beli motor itu. 

Sementara aku mencoba merogoh sana sini di kantong, menunda-nunda penahanan itu, mereka memeriksa motor rekanku yang lain. 

“Mana SIM dan STNK nya?” Sambil mengulurkan tangan pada salah satu rekanku. 

“Pak, dompet saya jatuh. Jadi, semua isinya di dalam termasuk SIM dan STNK bahkan KTP itu hilang,” 

“Jadi kamu tidak punya nama ya?” 

“Aduh pak, bukan begitu,” gaung rekanku itu. 

Ingin rasanya aku ikut dalam percakapan mereka dan berkata, wahai tuan-tuan rekan saya itu dilahirkan oleh orang tuanya, bahkan Tuhan telah menghendaki kehadirannya di dunia ini. Tapi kenapa? Kenapa kalian-kalian ini mengatakan hal yang demikian? 

“Ini dia yang belum diperiksa. Cepat buka bagasinya,” telunjuknya mengarah ke motorku. 

“Mana yang punya,”

“Itu dia,” ia menunjukkan. 

“Tunggu sabar, pak. Saya cari dulu kunci saya,” ujarku pelan. 

“Heleh, sembunyi saja kuncimu itu. Bawa pulang di rumah,” 

Brakk! Helm ku terjatuh dari tenggeran kaca spion. 

“Banting saja itu helm sampe rusak. Kau pikir kami peduli kalau kau marah,” 

Ingin kujawab padanya, helm itu jatuh karena ketidak sengajaan. Tapi aku redam rasa amarah yang ingin mencuat keluar dari gowa mulut ini. 

Akhirnya, aku menyerah pada tuan-tuan berbaju dinas cokelat itu. Aku merogoh kunci dari kantongku, kubuka bagasi motor itu. 

Klik! Bagasi terbuka. Isinya sebuah kunci-kunci ukuran 12 dan 10, obeng bunga, obeng plat, kanebo yang sering digunakan sehabis cuci motor dan sebuah kotak nasi yang kusiapkan untuk kusantap nanti. 

“Periksa semuanya,” 

“Silahkan,” sahutku. 

Ku rogoh dengan cepat kotak nasi itu. Takut akan di apa-apakan oleh mereka. Firasatku berkata bahwa, mereka akan memeriksa juga kotak nasi ini. 

“Periksa kotak nasi itu,” 

Setelah memeriksa perlengkapan yang ada di dalam bagasi motorku, mereka memeriksa kotak makan itu. Hatiku sungguh sedih. Melihat perlakuan mereka yang sangat tak masuk akal. Mencurigai sana sini. Bahkan kotak nasi yang kubuat kusiapkan untuk disantap nanti itu ikut diperiksa. 

Pria berambut gondrong, memakai topi lengkap dengan masker itu membuka kotak nasiku. Tutupnya dibuka. Mencuatlah nasi dan ikan di dalamnya.

“Bagaimana, pak. Silahkan makan,” ujarku sedikit geram. 

Jujur saja, aku tidak marah saat mereka menggeledah kotak nasi itu. Namun yang membuat ku marah ketika hak ku diambil. Hak untuk tidak mengizinkan siapapun untuk menggeledah isi bagasi motorku diambil. 

Apakah sudah begini jadinya bangsaku ini? Kotak nasi saja harus dicurigai? 

Oh wahai tuan-tuan sekalian. Sesungguhnya benar yang dikatakan tokoh panutanku bapak proklamator Soekarno. “Kita tidak bodoh, tapi dibodohkan. Kita tidak miskin, tapi dimiskinkan oleh sebuah sistem”. 

Sistem itulah para tuan-tuan yang berseragam lengkap dengan sebuah pucuk senjata yang diikatkan di pinggangnya itu. Merekalah salah satu dari bagian dari sistem yang membodohi dan memiskinkan. Mungkin. 

Oh, akhirnya. Aku harus menyerahkan motor kesayangan itu pada mereka. Si kuda besi yang memudahkan langkah kaki ini untuk berjalan jauh tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Si dia yang kusayangi, kurawat dan kubersihkan bagai diri sendiri, bahkan dengan uang sendiri. 

Ah, sudahlah. Aku sudah banyak nyerocos sana sini. Toh juga yang ku bicarakan hanya sebatas kotak nasi itu. Dan kepada kuda besi kesayanganku itu, semoga engkau tak merasa kesepian saat jauh dariku.

 

Penulis: Fadhil Hadju

 

Pos terkait