Oleh : Rodney Neu, Pengamat Sekitar Kota (PSK)
SAYA BERHARAP hari itu bisa bertemu Tasya, anak perempuan kecil penjual gorengan keliling di kota layak anak. Akan tetapi sampai saat itu, saya tak melihatnya sama sekali. Barangkali ia sedang berada di tempat lain, atau mungkin ia sedang membantu orang tuanya, entahlah. Hari itu saya tidak punya pekerjaan yang harus diselesaikan. Biasanya saya berkutat dengan tugas-tugas perkuliahan. Daripada tidak ada aktivitas lain, maka saya putuskan untuk menyusuri kota yang dipimpin Wali Kota, Marten Taha itu.
Mata saya sesekali mengamati setiap sisi kanan dan kiri jalan saat melintasi ruas jalan Ahmad Yani hingga Panjaitan. Tak sampai di dua jalan protokol itu, saya pun belok ke kiri di Jalan Sultan Botutihe, lalu belok kanan di Jalan Tribrata hingga tak disangka, saya sudah berada di simpang empat lampu merah Kantor Pos. Tasya tetap saja tidak kelihatan. Saya memutuskan untuk balik ke kosan, lalu saya belok kanan di Jalan Nani Wartabone.
Saat di perjalanan pulang, saya melihat anak-anak kecil sedang mengamen di tengah jalan lampu merah. Terik siang itu menusuk hingga tulang, seolah mendung tertahan oleh rapalan doa para pengamen jalanan di Jalan Raja Eyato, Limba B, Kota Selatan, Kota Gorontalo. Tepat di perempatan jalan kompleks Masjid Agung Baiturrahim Gorontalo, para pengamen jalanan sedang mengais rezeki, mengumpulkan recehan se-ikhlasnya dari pengguna jalan. Sementara, para pengendara seperti mau menerobos lampu merah karena diburu oleh waktu.
Terlihat sebagian pengendara tersenyum-senyum menikmati nyanyian pengamen sembari menggoyangkan kepala kekiri dan kekanan. Sambil menunggu lampu hijau menyala di traffic light, Suara merdu pengamen diiringi okulele dinikmati dengan tenang oleh para pengendara. Namun ada sebagian pengendara yang terlihat murung. Barangkali mereka murung karena ada Pemberlakukan Pembatas Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh pemerintah, atau sedang memikirkan nasib mereka akan seperti apa dikemudian hari. Situasi belum pulih, semua tidak normal, kita sedang menghadapi situasi sulit di tengah pandemi. Lalu sampai kapan ini berakhir? entahlah. Hanya Ia yang Maha Tahu segalanya, apa-apa saja yang akan terjadi. Dialah satu-satunya dzat yang menentukan kehidupan yang bergerak di muka bumi.
Sepertinya niat saya kembali ke kosan diurungkan. Tertarik mengamati pengamen anak-anak di simpang empat traffic light. Lampu hijau di traffic light sudah menyala. Semua pengendara berpacu menuju tujuannya masing-masing. Setiap lampu merah menyala, disaat itu pula pengamen jalanan beraksi menunjukkan kemampuannya dalam menyanyi dan memetik okulele demi mendapatkan uang seikhlasnya. Disaat kawanan pengamen mulai beraksi, mata saya tertuju pada lelaki kecil yang sedang berteduh di bawah pohon sambil menyetel tali senar okulele.
Saya menghampirinya. Biar suasana lebih cair, saya langsung menyapanya.
“Gitarnya rusak?”
“Tidak. Saya lagi menyetel nada saja.”
Okulele selesai disetel. Nadanya pas. Tak lama kemudian, okulele tersebut diberikan kepada anak perempuan kecil yang sudah tidak sabar mengamen. Setelah saudara perempuannya pergi menuju titik yang dituju, kami berdua saling memperkenalkan diri.
“Kenalkan, nama saya Ot dan nama kamu siapa?” kataku sembari mengulurkan tangan
Setelah saya memperkenalkan diri, Ia hanya diam tanpa memperkenalkan diri. Ia sepertinya tertutup, tak ingin mengenal satu sama lain. Barangkali baginya, waktu bukan untuk berkenalan dan basa-basi. Waktu adalah uang, apalagi di tengah pandemi. Tak lama kemudian akhirnya ia mengenalkan dirinya. Lelaki kecil ini namanya Is. Umurnya 16 tahun. Selisih 6 tahun dari umurku saat ini.
“Kamu sudah tidak sekolah?.”
“Saya masih sekolah.”
Wajah Is terlihat seperti menyembunyikan sesuatu saat menjawab pertanyaan tadi
“Lalu kenapa kamu mengamen? Seharusnya kamu belajar di rumah.” Mendengar perkataanku, Ia tertawa. Padahal Aku sudah tahu, bahwa Ia hanya memaksakan diri untuk tertawa.
“Selain sekolah, saya juga harus mencari uang lewat mengamen seperti ini,” ucap Is dengan nada ragu-ragu
Telinga saya seperti kemasukan semut, lalu semut itu loncat-loncat begitu setelah mendengar penuturan Is tadi. Ia tidak mau ambil pusing jika teman sekolah atau gurunya melihat dirinya sedang mengamen.
“Bapak dan Ibumu tidak keberatan jika kamu mengamen seperti ini?” tanyaku penasaran
“Mereka sudah tahu saya mengamen seperti ini, dan mereka biasa saja.” ucap Is
“Memangnya orang tuamu tidak pernah memberimu uang jajan? Atau kamu tidak puas dengan uang jajan yang diberikan orang tuamu?”
“Bukanya tidak puas. Tapi, saya harus menafkahi Ibu yang sedang sakit. Dan saya pun malu apabila sering meminta uang jajan terus,” ucap Is
“Menafkahi? Emangnya bapakmu kemana?”
“Bapak sudah meninggal,” ucapnya dengan sedih
Aku terdiam setelah mendengar cerita terakhir. Sementara cuaca bertambah panas. Di seberang jalan kawanan pengamen jalanan terus bernyanyi sambil diiringi okulele. Sepertinya mereka tak merasa gerah akan terik mentari yang menyengat ‘membakar’ kulit. Sudah menjadi pekerjaan hari-hari demi memenuhi kebutuhan ekonomi.
Sejak kecil, saya lebih banyak menghabiskan waktu hanya bermain dan menikmati setiap jajan dari modal orang tua. Tak pernah sedikit pun terlintas untuk ikut mencari uang sendiri. Padahal, saat itu teknologi belum secanggih sekarang. Sementara saat ini kecanggihan teknologi bak tsunami. Mestinya anak-anak seperti mereka bukan mengamen, tapi bermain game mobile legend, free fire, PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) atau Sausage Man.
Ini semua bukan kesalahan mereka apabila menghabiskan waktu untuk mengamen. Saya akan melanjutkan cerita. Barangkai ini bisa menyentuh hati kita, kawan!
Cukup lama kami terdiam. Ia langsung memutuskan untuk bergabung dalam barisan pengamen turut ikut mengais recehan di jalanan bersama kawan lainnya. Namun, langkahnya terhenti setelah mendengar pertanyaanku yang cukup membuatnya menggelitik
“Kalian pernah ditangkap polisi atau apalah?.”
“Tidak pernah.” Jawabnya datar
Mendengar jawabannya, aku merasa ada yang ganjal. Aku berupaya mengorek-ngorek agar ia jujur dan mengatakan yang sebenarnya ia alami. Alhasil, beberapa menit kemudian, Ia menceritakan kisahnya saat diakali petugas lalu lintas.
“Kami pernah disuruh berhenti mengamen. Itupun karena mobil pak Gubernur atau pejabat lainnya mau lewat.”
“Masa? Tidak pernah di usir paksa?”
Ia terdiam sejenak. Sepertinya ia ragu mengutarakan apa yang pernah ia alami di jalanan. Akhirnya ia mengutarakan kisahnya.
Dulu, kata Is, saat mengamen bersama temannya, sebuah mobil khusus pelat merah melintas di depan mereka. Mobil tersebut tak lain adalah milik dinas sosial. Karena sudah cukup akrab dengan mobil tersebut, mereka santai saja.
Sementara di seberang jalan, kata Is, ada anak punk yang sedang berjalan. Setelah beberapa lama, kami dipanggil oleh salah satu petugas dinas sosial.
“Saya minta tolong, kamu pergi ke arah sana untuk memanggil anak punk itu kemari.” Kata petugas sambal mengarahkan tangannya ke arah anak punk yang sedang berjalan tadi.
Is bersama temannya pun menuruti permintaan tersebut. Namun, saat mereka kembali bersama anak punk tadi, tiba-tiba terdengar teriakan dengan kencang dari belakang mereka seperti sesuatu yang buas ingin menerkam mangsanya. Hari itu sepertinya hari yang naas bagi anak punk, Is dan rekan-rekannya. Is dan rekan-rekannya merasa dijebak di sebuah rimbunan gedung kota, ditengah polisi udara dan ditengah bisingnya knalpot berbagai kenderaan.
Mereka ingin sekali berontak, namun tak kuasa. Petugas yang berteriak dari belakang langsung menangkap mereka.
“Seret mereka keatas mobil.” teriak salah satu petugas dinsos yang bertumbuh besar
Is dan rekannya tidak tahu-menahu apa salah mereka. Meski begitu, mereka tak melakukan perlawanan sama sekali
“Kenapa kalian tidak lari?” tanyaku
“Saat itu saya sudah takut, jadi untuk lari pun tidak terpikirkan,” ucap Is dengan senyuman malu-malu
Sampailah mereka di halaman kantor. Turun dan langsung diarahkan masuk ke dalam kantor. Setelah dipersilahkan duduk, mereka diminta untuk menghubungi orang tua masing-masing.
“Terus orang taumu datang?” tanyaku
“Ibuku datang, dan meminta maaf kepada petugas. Begitupun dengan petugas tersebut,” ucap Is
“Seandainya, Ibumu tidak datang saat itu, apa yang akan mereka lakukan padamu?”
“Kami akan di antar ke Panti Jompo,” ucap Is
Kejadian ini terjadi pada tahun 2021, tapi Ia lupa bulan dan tanggal kejadian tersebut.
Setelah mendengar semua penjelasan dari Is, sejenak saya berpikir; ternyata lebih mudah menangkap pengamen dan anak jalanan daripada menangkap pejabat koruptor yang keliling pengaruh. Lebih mudah mengadili maling ayam ketimbang mengadili maling besar karena mereka dilindungi.
Semoga Allah senantiasa melindungi para mustad’afin di serambi Madinah. Menguatkan, menyehatkan dan mensejahterakan mereka. Aamin!