Oleh: Daud Yusuf – Dosen Universitas Negeri Gorontalo
Opini – Budaya mahasiswa kekinian jelas berbeda seratus delapan puluh derajat ketimbang tiga dekade silam. Mahasiswa jaman now amat familiar dengan teknologi informasi. Hidup mereka bak hambar tanpa menyentuh gadget dalam seharian. Kuliah pun sebelum masa pandemi tak luput dari perilaku gadget mania mahasiswa. Mereka acapkali mengikuti kuliah sambil bermain game atau bermedia sosial. Apakah mereka paham penjelas dosen sampai berbusa-busa di depan kelas atau tidak, memang bukan jaminan. Acapkali ketika dimintai respon soal materi kuliah, tak jarang mereka mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Tentu fenomena ini menarik. Sebaliknya, mereka juga ada yang tak memahami materi kuliah.
Budaya baru ini tak mesti dianggap penghambat proses transformasi ilmu pengetahuan dan keterampilan di dunia perguruan tinggi. Justru, budaya baru mesti di konstruksi untuk memicu lahirnya inovasi dan kreativitas baru dalam proses pembelajaran. Apalagi di masa pandemi saat ini. Inovasi dan kreativitas pembelajaran jadi keniscayaan.
Bagaimana Mestinya?
Dewasa ini pembelajaran di perguruan tinggi yang masih mengandalkan ceramah, dan diskusi di depan kelas mesti diberi variasi. Variasi itu bersumber dari inovasi dan kreativitas berbasis teknologi informasi. Jika tidak, maka generasi milenial ini cepat merasa bosan dan cenderung bermain gadget ketimbang mencermati kuliah model klasik ini. Apa inovasi dan kreativitas yang mesti dikembangkan di masa datang termasuk pasca pandemi Covid-19? Penulis setidaknya merekomendasikan, pertama, inovasi materi pembelajaran dalam perkuliahan dan praktikum. Selama ini perkuliahan perguruan tinggi masih menggunakan slide, dan menulis di papan tulis disertai ceramah. Proses ini tetap saja diterapkan, tapi perlu dibarengi kreativitas dan inovasi cerdas. Penulis mengusulkan agar materi kuliah kekinian dikonstruksi berbentuk games, video animasi dan simulasi digital. Mahasiswa jurusan sejarah bermain games tapi berpetualang di dunia maya soal kisah kerajaan Majapahit, perang Pasifik, atau Perang kemerdekaan Indonesia. Seorang mahasiswa jurusan Fisika belajar teori gerak dan mekanika lewat animasi atau simulasi digital. Begitu juga mahasiswa jurusan geografi, biologi, agronomi, kelautan dan perikanan dan lainnya. Praktikumnya pun bisa diterapkan secara simulasi digital.
Pertanyaannya, apakah inovasi ini efektif dalam mempercepat pemahaman (kognitif), perilaku dan kemampuan teknik mahasiswa secara empiris? Hemat penulis pembelajaran tetap dikombinasikan dengan model konvensional dan digital. Termasuk model praktikum berbasis games dan simulasi digital. Penulis menyebutnya sebagai model hybrid. Memang prosesnya tidak mudah. Untuk mengimplementasikannya membutuhkan sumberdaya manusia mumpuni, dukungan infrastruktur teknologi digital dan anggaran memadai. Setidaknya, semua perguruan tinggi negeri maupun swasta mesti menggelontorkan investasi untuk mendukung penerapan gagasan ini. Namun, dalam jangka menengah dan panjang perguruan tinggi kian efisien dalam pembiayaan.
Kedua, pembelajaran tanpa kampus. Mahasiswa di masa datang akan memunculkan model perkuliahan tanpa kampus. Perguruan tinggi negeri dan swasta saat ini lebih baik mulai mengurangi pembangunan gedung kampus. Mereka lebih baik mengalokasikan dan menginvestasikan anggarannya buat meningkatkan dukungan kampus berbasis digital. Di California, Amerika Serikat saja sudah hadir kampus digital, University of the People. Otomatis satu dekade ke depan di Indonesia juga bakal dibanjiri kampus digital baik dari negara maju maupun Indonesia sendiri. Bagi kampus-kampus yang kini ada di negeri ini mau tidak mau mesti berbenah diri dan beradaptasi dengan ekosistem ini. Jika terlambat, bakal terdisrupsi dengan sendirinya. Ini tentu tantangan berat dan bentuk persaingan ketat di masa datang bagi kampus negeri maupun swasta dalam dunia pendidikan tinggi. Ceritanya bakal berbeda jika sudah mengantisipasinya sejak dini.
Rekonstruksi
Kini pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud Ristekdikti) telah mencanangkan merdeka belajar, kampus merdeka (MBKM). Sayangnya konsep dan tataran implementasinya dipahami sangat mekanistik dan teknokratis. MBKM hanya dipahami sebatas mengambil sistem kredit semester (SKS) di kampus lain, magang dan kerjasama riset dan seterusnya. Bahasanya kolaborasi tetapi amat mekanistik. Umpamanya, ikut kuliah di universitas luar dan dalam negeri. Atau, magang dengan SKS tertentu, lalu memperoleh sertifikat. Sebatas itulah manifestasi kampus merdeka saat ini. Apakah ini namanya makna merdeka belajar. Dimaknai sebatas kebebasan memilih SKS dan magang. Kesan mekanismenya terang benderang.
Hemat penulis, kampus merdeka mestinya dipahami secara organik dan ideologis. Kampus merdeka sejatinya tetap beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi. Namun diperlukan rekonstruksi substansial. Jika secara mekanis merekonstruksi inovasi materi pembelajaran dan belajar tanpa kampus. Maka secara organik, rekonstruksi substansinya dalam berupa inovasi materi pembelajaran mengandung esensi ideologi bangsa dan nilai-nilai kearifan lokal. Semua mesti terinternalisasi di dalamnya. Substansi merdeka belajar juga dimaknai sebagai kemerdekaan dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi serta keragaman dalam metodologi. Tak ada lagi hegemoni, kooptasi dan monolitik dalam metodologi. Era digital ini membutuhkan kolaborasi keilmuan lewat pendekatan transdisiplin, interdisiplin dan multidisiplin. Di sinilah tantangan berat bagi dosen di masa datang untuk merumuskan materi pembelajarannya secara inovatif – kreatif.
Bagaimana dengan pembelajaran tanpa kampus? Pembelajaran tanpa kampus merupakan model pendekatan geopolitik dan geostrategis dalam pendidikan nasional kita. Pendidikan semacam ini selain mengatasi kesenjangan pendidikan antar wilayah dan daerah. Juga, mengatasi kemiskinan dan menciptakan kesetaraan antar warga bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak tak harus berkuliah dan beraktivitas keluar dari wilayahnya. Memang dukungan teknologi informasi memadai jadi prasyarat utamanya. Ada pertanyaan bagaimana mata kuliah praktikum? Hemat penulis inovasi materi pembelajaran dalam perkuliahan dan praktikum jadi solusinya. Supaya mahasiswa praktik secara langsung sebuah kampus yang menerapkan pembelajaran tanpa kampus mesti berkolaborasi. Kampus tersebut dapat berkolaborasi dengan kampus di daerah, atau lembaga riset milik pemerintah dan swasta. Di sinilah implementasi paham gotong – royong dan kekeluargaan sebagai modal sosial bangsa Indonesia.
Jadi, di masa datang sebuah kampus bisa saja mahasiswa puluhan ribu tanpa harus hadir secara fisik di kampusnya misalnya di pulau Jawa. Penulis membayangkan gagasan semacam ini cepat atau lambat pasti bakal hadir di negeri ini. Tugas kita sebagai pendidik adalah menyiapkan infrastruktur dan sumber daya manusia memadai. Supaya revolusi pendidikan 4.0 ini tak mendisrupsi kita semua. Prasyarat terakhir yang penting adalah kemauan politik pemerintah merubah budaya pendidikan tinggi kita yang terlalu mekanistik dan administratif. Semoga!!