Oleh: Eka Putra B Santoso – Direktur Gorontalo Research Center
Opini – Resesi Kepercayaan pada kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo tengah nampak pada sikap fraksi partai biru di DPRD. Energi ini memuat sebuah kontrol yang cukup tegas dengan menyatakan walk out pada paripurna RAPBD perubahan 2021.
Sikap kritis lainnya juga diperlihatkan ketika kebijakan Pemprov yang dituangkan dalam dokumen LKPJ tahun 2020. Bahkan insiden itu memantik adu pantun antara Partai Biru dan Jubir Gubernur.
Dalam teater politik lokal, ruang ini menandakan bahwa sirkulasi wacana nampak seimbang, karena Partai Biru memainkan fungsi kontrol yang ketat. Fungsi yang sebelumnya terkesan tak digunakan secara maksimal oleh partai lainnya.
Namun, arena kritik ini harus diuji. Terutama dengan sikap Partai Biru menjelang Pilkada 2024. Resep ini harus terus dikumandangkan ke publik karena jika terjadi pernikahan antara Partai Biru dan Kuning di 2024, saldo kritik yang dilancarkan Partai Biru cenderung tak mempunyai landasan ideologis, bahkan mungkin tak restoratif.
Dalam studi kepartaian, masalah terbesar Partai Politik di Indonesia, selain tentang hukum besi oligarki, ruh terberatnya adalah menjaga segregasi ideologis dengan partai lainnya. Ruang ini yang menjadi semacam tantangan internal Partai politik dalam membedah antara sikap ideologis dan pragmatisme berkuasa.
Urgensi kegamangan sikap partai politik inilah yang memantik diskusi publik akan represi dan aktualisasi Partai Biru di tingkat lokal. Pertanyaan ini jelas akan menyebabkan disrupsi kepercayaan yang dituangkan secara kritis dari perspektif koalisi yang akan dibangun.
Ketika kita membuka peta dominasi Partai Kuning di Gorontalo, kita akan menemukan eksistensinya ketika daerah ini menjadi otonom hingga kini. Bahkan sebelum itu, secara nasional Partai Kuning yang punya kekuatan top down yang kuat, mampu terus mempertahankan agresinya di bumi serambi Madinah.
Hal ini yang mungkin harus dilihat oleh Partai Biru. Modal sosial yang telah dikantongi Partai Kuning dalam menjaga basis elektoralnya tidak mudah untuk digeser. Butuh elit lokal dan konsistensi ideologi baru guna memudahkan sirkulasi kekuasaan. Memang hari ini Partai Biru punya tokoh nasional yang terpilih dan menjadi wakil ketua DPR RI. Tetapi hal itu tidak cukup untuk mengganti dominasi partai kuning dalam ruang-ruang kekuasaan eksekutif bahkan legislative. Apalagi, nantinya segregasi yang ditandai dengan kritik-kritik kader partai biru di DPRD tak korelatif dengan sikapnya pada 2024 nanti. Selain itu Partai Biru yang kini punya kader-kader senior dalam struktur kepengurusan bukan sepenuhnya menjadi modal baik dalam pertarungan electoral eksekutif.
Hal ini yang dikhawatirkan, karena harapan publik akan segregasi pilihan politik di 2024 sangat penting untuk menguji sejauh mana rangkaian dan retorika ideologis partai biru. Tak cukup sampai disitu, publik juga akan menagih kecakapan kritik itu dapat diaplikasikan dalam program kebijakan pemerintahan di daerah ketika nanti ada perubahan kekuasaan. Kita bersama mungkin mengetahui , daerah ini tengah membutuhkan sebuah inovasi yang fundamental tentang angka kemiskinan yang kini stagnan. Apalagi nanti, pasca covid pemerintah terpilih dituntut untuk mampu merumuskan rancangan kebijakan yang signifikan guna membangun sistem ekonomi yang redup diterjang badai pandemic.
Kini, sebagai publik harapan yang akan dibangun adalah sorot mata konsistensi dari Partai Biru melancarkan kritik. Karena semakin tinggi konstruksi kritik semakin baik partisipasi dan upaya publik akan kontrol sosial pada penguasa terutama di tingkatan lokal.