Malam itu Riden Baruadi GALLERY, sebuah ruang interaksi seni dan rupa di jalan Raja Eyato Kota Gorontalo, kembali menggelar Pidato Kebudayaan, Selasa (9/11).
Berbagai kalangan lintas generasi, suku, agama dan profesi hadir menyaksikan giat tahunan dari Riden Baruadi GALLERY yang rutin digelar di penghujung tahun bersama pameran karya senirupa. Sejumlah tokoh budaya & agama turut hadir, diantaranya Sekretaris Jenderal Dewan Adat Gorontalo, Alim Niode, serta pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Safiiyah, KH Aniq Nawawi.
Djufryhard, direktur Riden Baruadi Gallery, dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan Pidato Kebudayaan ini merupakan program rutin tahunan Gallery sekaligus wadah refleksi akhir tahun yang memang sengaja digelar dengan menghadirkan tokoh Budayawan/Sejarawan/Akademisi/Aktivis untuk mengupas persoalan kebudayaan, sejarah dan aktualisasinya yang diharapkan bisa membagi pengetahuan, sejarah, dan tantangan kedepan Gorontalo pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Pemikiran-pemikiran jernih dari perspektif sejarah, sosial, humaniora dan lingkungan yang selama ini masih dibicarakan di kelas-kelas dalam kampus ataupun seminar terbatas hendaknya juga dapat diakses terbuka oleh masyarakat dan bisa melintasi ruang serta “sekat akademik” yang membelenggu dan terkesan berada di menara gading perguruan tinggi.
Pidato kebudayaan tahun 2021 ini menurut Djufryhard, merupakan gelaran ketiga kalinya di Gorontalo setelah jedah karena pandemi di tahun 2020. Kali pertama digelar tahun 2018 menghadirkan Basri Amin dengan judul pidato “Telisik Budaya Bahari Gorontalo” dan tahun 2019 menghadirkan Prof. Nani Tuloli dengan judul pidato “Lahilote Dalam Sastra Gorontalo”.
Pidato Kebudayaan #3 tahun 2021 ini mengangkat tema “Gorontalo Dalam Perspektif Ekologi Budaya” dengan menghadirkan Terry Repi. Terry dalam pidatonya menyatakan, ekologi budaya adalah kondisi lingkungan fisik dimana manusia tinggal dan berinteraksi serta beradaptasi menentukan budayanya.
“Itu juga menyebabkan ada corak budaya berbeda-beda berdasarkan kondisi ekologis yang berbeda,” ungkap Terry.
Terry mencontohkan ekologi budaya di Gorontalo pada Panggoba dan Payango. “Kedua itu merupakan hasil dari interaksi langsung antara ekologi dan budaya,” kata Akademisi Jurusan Pertanian Universitas Muhammadiyah Gorontalo tersebut.
Menurut Terry, ruang-ruang kebudayaan seperti yang dilaksanakan di Riden Baruadi Gallery harus lebih banyak dan lebih sering dilakukan. Karena membicarakan kebudayaan tidaklah terbatas pada acara momentual.
“budaya bergerak dinamis, kalau kita lambat kita pasti ketinggalan, perkembangan yang sangat dinamis itu mendorong semakin beragam dan kompleksnya wujud kebudayaan,”
Dalam pidatonya, Doktor dibidang ekologi dan konservasi lulusan IPB Bogor tersebut, menyampaikan bahwa secara personal dirinya kaget dan merasa minder tampil sebagai orator dalam pidato kebudayaan ini, karena masih banyak tokoh-tokoh senior di Gorontalo yang semestinya dihadirkan. Selain itu bagi Terry, pidato mungkin masih berkesan elitis bagi sebagian kalangan sehingga akan lebih baik lagi jika kedepan bisa ditampilkan dalam ruang yang lebih sederhana, karena peristiwa kebudayaan itu lebih banyak terjadi di ruang-ruang yang sederhana.
Penulis: Fadhil Hadju