Banjir-banjir yang Merendam Gorontalo

Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) meminta Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Kabupaten/Kota untuk segera menerapkan mitigasi bencana. Di antaranya melakukan pengamatan dan penelusuran di tempat yang rawan banjir.
Foto ilustrasi banjir (pixabay)

Oleh: Fadhil Hadju – Biro Ekologis PC PMII Kota Gorontalo

Opini – Indonesia saat ini tengah dilanda musim penghujan yang intensitasnya cukup tinggi. Sejumlah daerah mengalami bencana akibat gejala alam, hingga berujung kematian. Ada yang berpendapat, bencana terjadi akibat dari gejala alam yang sudah tak bisa diprediksi. Adapun beberapa orang yang percaya, bencana ini terjadi bukan diakibatkan oleh alam, melainkan ulah manusia itu sendiri. 

Bacaan Lainnya

Pada 1 November 2021 di Glasgow, Skotlandia para pemangku kepentingan elit dunia berkumpul dan membahas kelangsungan lingkungan alam kedepannya dengan membuat komitmen untuk menekan dampak dari perubahan iklim. Pertemuan yang bernama COP26 itu, merupakan pertemuan yang didirikan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berlangsung antara 31 Oktober sampai 12 November 2020. Pemerintah Inggris menjadi tuan rumah COPD. Indonesia termasuk dalam pertemuan tersebut

Namun, saat Indonesia menyampaikan komitmennya untuk menekan dampak perubahan iklim, melalui Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, terdapat hal yang ganjal, yaitu terjadi data Deforestasi. Data deforestasi yang disampaikan Jokowi dinilai berbeda dengan kondisi sebenarnya, oleh sejumlah Non Government Organization (NGO). Hal itu menjadi trending topik dan masih terus dibahas hingga ini. 

Deforestasi atau suatu peristiwa hilangnya hutan alam beserta dengan atributnya yang diakibatkan oleh penebangan hutan memang menjadi hal yang penting terhadap lingkungan. Jika indonesia terus mengalami deforestasi, maka dampak dari perubahan iklim akan sulit dikendalikan. Salah satu dampak yang terjadi akibat deforestasi ialah banjir, seperti yang terjadi di Batu Malang, Jawa Timur pada 4 November 2021 lalu, dan sejumlah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Gorontalo baru-baru ini.

Penulis pernah berdiskusi dengan salah satu mahasiswa Pascasarjana Geografi Universitas Negeri Gorontalo (UNG), untuk menjawab hipotesis itu. Ia mengatakan bahwa alam memiliki caranya sendiri untuk mengekspresikan gejalanya. Seperti terjadinya banjir yang melanda sesuai jadwalnya, semisal lima tahun sekali. Namun, dengan adanya dampak perubahan iklim, intensitas bencana-bencana sudah tidak bisa diprediksi.

Bagaimana banjir di Gorontalo? 

Melansir Kompas.com, Provinsi Gorontalo merupakan daerah yang rawan banjir. Data paparan Japesda Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), sejak tahun 2003 dan 2005 terjadi banjir yang melanda di Kabupaten Gorontalo. Kemudian dalam penelitian Nurhayati Doda (2011), Dosen Fakultas Teknik Universitas Gorontalo menyebut Kota Gorontalo sangat sering terjadi banjir yang puncaknya pada tahun 2008. Saat itu, banjir yang terjadi sampai 12 kali. 

Pada paparan hasil penelitian Nurhayati, daerah Kota Gorontalo menjadi daerah yang rawan banjir dengan rinciannya: zona banjir potensi sangat tinggi (Kecamatan Kota Selatan dan Kota Timur); zona banjir potensi tinggi (Kecamatan Kota Selatan dan Dungingi); zona banjir dengan potensi sedang (Kecamatan Kota Utara dan Kota Tengah); zona banjir potensi rendah (sebagian Kecamatan Kota Utara) dan potensi sangat rendah yakni daerah yang merupakan dataran tinggi (selengkapnya baca Jurnal : Nurhayati Doda. 2011. Analisis Daerah Rawan Banjir Kota Gorontalo Berbasis Sistem Informasi Geografis. Jurnal peradaban sains, rekayasa dan teknologi Sekolah Tinggi Teknik (STITEK) Bina Taruna Gorontalo. Volume 1. No2). 

Selain itu, pada tahun 2012, Japesda mencatat ada tiga kali banjir yang semakin rutin. Sementara, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dari tahun 2015 sampai 2020, ada 20 kali peristiwa bencana banjir terjadi di Kabupaten Gorontalo Utara. Pada tahun 2020 juga, kabupaten Bone Bolango juga menyalami banjir bandang yang cukup besar, hingga mengakibatkan Jembatan Molintogupo ambruk dan terseret arus air sungai. Kecamatan Suwawa Selatan dan Suwawa Tengah menjadi kecamatan yang paling terdampak akibat peristiwa itu. 

Sebenarnya, banjir yang melanda daerah Gorontalo telah terjadi sejak era kolonialisme. Pada tulisan di buku Basri Amin (2012), data-data banjir yang pernah melanda daerah Gorontalo yakni pada tahun 1618, banjir besar pernah melanda Gorontalo. Tak hanya itu, di laporan Von Rosenberg menyebutkan, pada 1880-an banjir telah terjadi setiap tahunnya. Basri Amin menyebut bahwa keterhubungan masalah itu berasal dari: perubahan iklim, kondisi hutan, daerah aliran sungai, curah hujan, daerah resapan air, danau dan sirkulasi air yang ada di permukaan. 

Bicara banjir, sebenarnya telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menelisik masalah itu di Gorontalo. Semua anggapan terkait banjir, tidak akan lari dari masalah kondisi hutan yang mengalami pengurangan wilayah atau disebut deforestasi. Dari data Global Forest Watch, sejak 2002 sampai 2020, Gorontalo mengalami kehilangan 52.3 ribu hektare hutan primer basah, dengan menyumbang 42% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Bukan hanya itu, Sejak 2013 sampai 2020, sekitar 90% kehilangan pohon yang terjadi di hutan alam. Total kehilangan hutan alam setara dengan 41,8 Mt setara emisi CO²e.

Telah banyak penjabaran-penjabaran yang diberikan oleh para pakar mengenai banjir ini. Namun kebijakan yang memberikan dampak solusi berkepanjangan belum juga ada dilakukan. Dalam hal ini penulis tidak memberikan analisis-analisis dan kesimpulan dari tulisan ini. Penulis hanya ingin memaparkan bahwa daerah Gorontalo telah terkenal dengan Hulonthalangi (daerah yang tergenang). Olehnya seluruh level pemangku kepentingan harus ambil andil dalam memberikan solusi. 

Pos terkait