Jelang se-Abad NU: Menanti NU Bicara tentang Desa

Ilustrasi: NU Online

Oleh: Arief Abbas – GUSDURian Gorontalo

31 JANUARI hari ini, NU resmi berusia 96 tahun. Usia 96 tahun menunjukkan kematangan dan kedewasaan. Dua hal ini setidaknya paling dekat ditunjukkan lewat Muktamar ke-34 NU di Lampung, 22-24 Desember 2021 yang menghasilkan kemenangan KH. Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmat 2021-2026. Perayaan ini disambut dengan khidmat oleh para Nahdliyin seluruh Indonesia. Mereka datang, meski harus melewati berbagai daerah dan pulau; berkendara pesawat, kapal, bus, bahkan ada yang bersepeda. Ada bahagia yang terpancar di wajah mereka setelah tiba di lokasi Muktamar. Sebab Muktamar, barangkali memang tidak melulu soal politik. Muktamar adalah soal persaudaraan, soal ber-jam’iyyah. Beruntung sekali, saya sempat hadir dan menikmati situasi yang baik itu.

Tema yang digaungkan NU tahun ini asyik, yakni “Menuju Satu Abad NU, Kemandirian Warga untuk Perdamaian Dunia” juga turut mengokohkan spirit persaudaraan tersebut. Sambutan kunci Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA., di dalam Muktamar saban hari menjelaskan hal ini dengan baik. Baginya, kunci ke-jam’iyyah-an para Nahdliyin itu bertahan hingga saat ini karena NU berhasil menjembatani isu nasionalisme dan agama yang justru menjadi titik tengkar negara-negara Timur Tengah lainnya sehingga tidak bisa berkembang. Keber-jama’ah-an para Nahdliyin, juga, sebagaimana ditunjukkan di Muktamar, juga merupakan sebuah afirmasi bahwa NU sebenarnya bukan milik para elit. Pidato kunci K.H Miftachul Akhyar, Rais Am/Pimpinan Tertinggi PBNU semakin memperjelas keberjamaahan NU ini berada di tangan kyai-kyai kampung.

Alasannya sederhana: kyai-kyai kampung adalah nyawa NU. Setiap degup jantung NU berdetak dalam berbagai kegiatan keagamaan seperti pengajian, sholawatan, slametan, dsbg. Semua ini diletakkan dalam kerangka kebangsaan dan kebhinekaan. Itu sebabnya, NU bukanlah organisasi yang mirip rumah nyaman untuk para pengurus, para elit, atau bahkan dikelola serupa badan usaha untuk memuaskan kepentingan segelintir kelompok. Sebaliknya, NU adalah sebuah ruang kultural yang digerakkan oleh Nahdliyin, dan paling penting, keberadaan mereka ada di desa. Lewat kiprah mereka, sesederhana itulah saya mencermati adagium “Berkhidmat untuk NU”. Tapi pertanyaannya, sejauh mana ruang-ruang kultural NU, yang dihidupi oleh para Nahdliyin di desa,menjadi konsen utama dalam setiap pembahasan-pembahasan NU di level pusat?

Kyai, Kemiskinan dan Tantangan

Kyai-kyai NU di kampung adalah figur-figur otoritatif. Mereka digugu dan ditiru karena akhlak dan ilmu. Mereka bahkan terlibat dalam menggerakkan komponen sosial dan ekonomi rakyat. Tapi pada akhirnya, suara mereka hanya berakhir di secarik kertas suara. Dalam spektrum yang lebih luas, desa, tempat di mana mereka berkiprah dan memelihara nilai-nilai Ahlusunnah wal Jama’ah, selalu termarjinalkan. Kemiskinan paling subtil justru terjadi di desa. Padahal, kita tahu bahwa desa-desa menjadi lumbung pertanian yang menyuplai kebutuhan pasar. Namun mengapa nasib para petani dan nelayan tak kunjung sejahtera? Belakangan ini baru kita tahu bahwa ternyata mereka serupa sendok yang digunakan untuk menyuapi akumulasi kapital dalam industri perkotaan.

Dua pidato kunci pada pembukaan Muktamar ke-34 juga persis menyuarakan masa-masa berat yang sedang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Kita punya persoalan kemiskinan, perubahan cuaca, masalah agraria dan penggusuran, disinformasi, HAM, ketenagakerjaan, yang secepatnya perlu ditanggapi. Berbagai persoalan ini lazim terjadi di desa. Namun sayangnya, ruang-ruang kosong ini justru diisi oleh ormas keagamaan yang lebih informal, memiliki sejarah pendek, berwatak keras dan kaku, juga sukanya menyulut permusuhan dan intoleransi, seperti wahabisme. Mereka datang dan meyakinkan umat bahwa Islam adalah segalanya. Untuk melakukannya, bahkan tidak sedikit dari mereka yang melepaskan kritik terhadap demokrasi, HAM hingga pluralisme yang menjadi gaung besar NU selama ini. Tapi anehnya, mereka justru bertahan dengan memanfaatkan polarisasi politik dan ide-ide populis sampai saat ini. Mereka hadir menjawab isu kemiskinan, pendidikan, layanan kesehatan, dsbg., yang lahir dari proses berjejaring, berelasi, hingga berhasil mengumpulkan dana dalam jumlah raksasa dari dalam dan luar Indonesia.

Tentu saja, dari tahun ke tahun, NU paham betul soal ini. NU bahkan mencermati bahwa setiap persoalan tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkait kelindan satu sama lain. Problem kemiskinan erat hubungannya dengan ledakan pengangguran, pendidikan, kerusakan lingkungan, sanitasi dan kesehatan, bahkan pembangunan. Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Jokowidodo, ketika hendak membuka Muktamar ke-34 kemarin, bahkan menyatakan NU tidak pernah kekurangan para sarjana di berbagai bidang pada level nasional dan internasional. Di level struktural apalagi: NU punya 34 Pengurus Wilayah (PW); 548 Pengurus Cabang (PC); hingga 11 Badan Otonom (Banom) NU yang tersebar pada tiap-tiap cabang di seluruh wilayah Indonesia. Berbagai hal ini, mengutip penggalan kalimat Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA., adalah sumber daya: dari kapital, manusia, dan politik. Setidaknya, dalam angka, ada 91.2 juta Nahdliyin dan bisa dipastikan, mereka ada di desa-desa.

Struktur dan Kultur

Semestinya, sumber daya dan ekosistem yang telah terbentuk ini menjadi modal sosial-politik utama bagi NU dalam menciptakan kemandirian umat. Nahdlatul Ulama memang organisasi untuk jamaah. Namun persoalannya, berjamaah saja tidak cukup. Berjamaah itu bukan tujuan akhir NU. Kata KH. Miftachul Akhyar, berjamaah mesti diikuti oleh komitmen ber-jam’iyyah: tunduk dan patuh pada satu komando, yakni komando kyai. Alhasil, jika ditarik lebih ke dalam tema besar Muktamar ini, maka ber-jam’iyyah tidak lain adalah keseriusan untuk mewujudkan cita-cita besar NU dalam mengawal peradaban Indonesia dengan memobilisasi masa seluas-luasnya menciptakan kemandirian umat. Inilah yang disebut sebagai “men-jam’iyyah-kan jama’ah” oleh KH. Miftachul Anwar. Jika NU berkomitmen untuk menciptakan hal tersebut untuk menjawab berbagai kompleksitas hari-hari ini, maka diperlukan solidaritas untuk menciptakan transformasi gerakan: dari struktural ke kultural.

Transformasi struktural ke kultural membutuhkan strategi yang terarah. Jika isu kuncinya adalah desa, maka desain besarnya dimulai dari komitmen NU menjadikan desa sebagai wacana utama dalam rencana kerja strategis dalam tahun-tahun kedepan di setiap level kepengurusan. Hal ini bisa dilakukan pertama dengan mengidentifikasi potensi wilayah, pemetaan aktor, hingga perencanaan interkonektivitas antar desa. Di level teknis, rencana ini dilakukan lewat kolaborasi intersektoral antara para aktor-aktor kunci di desa—khususnya para kyai—Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang NU hingga Badan Otonom terkait, pemerintah setempat, universitas hingga organisasi kemasyarakatan lintas sektor untuk menciptakan basis-basis gerakan di tiap-tiap desa. Isu turunan yang dibicarakan tidak terbatas pada soal-soal keislaman yang inklusif, toleransi, kontra narasi terorisme, melainkan juga soal kemiskinan, kesenjangan sosial, ekonomi rakyat, sanitasui dan kesehatan, pendidikan, hingga konektivitas antar wilayah untuk menunjang perkembangan desa-desa lainnya.

Ambil contoh misalnya di Gorontalo yang memiliki memiliki sejarah Islam yang begitu panjang. Islam di wilayah Indonesia bagian utara terbentuk melalui aktivitas interkoneksi global: Ternate, Makassar, bahkan Timur Tengah. Di dalam ruang-ruang ini, kyai-kyai di desa tidak hanya menciptakan ruang-ruang keagamaan, melainkan juga aktivitas sosio-kultural, ekonomi dan politik yang terkoneksi antara wilayah. Merentang berabad-abad setelahnya, saat ini, sumber daya ini semakin berkembang dan kuat. Setidaknya, saat ini Gorontalo memiliki 657 Desa. Lebih dari 50% jumlah desa ini adalah umat Islam dan paling penting, mereka adalah para Nahdliyin. Mereka adalah orang-orang yang menghidupkan napas Ahlusunnah wal Jama’ah di dalam pikiran dan tindakan. Praktik Islam mereka beragam, namun berbudaya, inklusif, akomodatif, dan tentu saja, menampakkan wajah Islam Nusantara. Bayangkan jika sumber daya sosial-politik ini digunakan untuk menciptakan kesadaran-kesadaran kultural!

Refleksi

Tapi tentu saja, tanpa intervensi politis, gagasan ini hanya akan mengudar di udara. Saya menyebut “intervensi politis” tentu dengan sadar bahwa politik, bagaimanapun ia selalu muncul dengan wajah seram dan digunakan untuk menguntungkan segelintir kelompok saja, tapi juga memungkinkan untuk menciptakan keadilan. Sebab itulah, selain dibicarakan dalam diskursus-diskursus besar, hal ini juga harus muncul sebagai poin kunci rekomendasi  Ketua PBNU, PW, PC atau siapa pun yang mendaku sebagai anggota NU dalam mengemban amanah. NU adalah medan diseminasi ide dan gagasan untuk menjawab problem dan tantangan bangsa Indonesia di hari-hari mendatang.

Paling penting untung diingat bahwa, 96 tahun NU harus menjadi titik balik agar organisasi ini melakukan refleksi sedalam mungkin. Refleksi yang pada akhirnya membawa kita menemukan satu hal penting: NU bukan organisasi partai atau badan usaha yang dikelola untuk kepentingan segelintir pihak. NU, pada akhirnya, adalah organisasi milik Nahdliyin, milik seluruh masyarakat Indonesia. Maka mengembalikannya ke tangan para kyai-kyai di kampung adalah sebuah kewajiban. Tapi jelas dan untuk apapun, kita patut menanti NU bicara tentang desa, tentang kemandirian warga Nahdlliyin untuk dunia! Barangkali memang sesederhana itulah saya memahami bagaimana “berkhidmat untuk NU”.[]

Pos terkait