Sulut – Setelah Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) Iskandar Kamaru, membuka “Lokakarya hasil kajian sedimentasi dan upaya mitigasinya di lanskap Kabupaten Bolsel” menjadi sebuah forum singkat yang melihat problem kebencanaan lebih dekat. Semua stakeholder terkait merasa terpanggil dan berupaya mendiskusikan bahwa bencana tidak serta-merta terjadi secara alami.
Meski hanya digelar selama dua hari, dari tanggal 14-15 Maret 2022, akan tetapi forum yang diinisiasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bolsel, WCS Indonesia Program dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara di Hotel Sutan Raja itu membedah problem kebencanaan, lebih-lebih banjir dan tanah longsor. Kita tentu, belum lupa tahun 2020 bencana banjir bandang yang menimpa masyarakat Desa Milangodaa Barat dan Pakuku Jaya, Kecamatan Tomini. Juga di tahun yang sama menerpa sejumlah desa di Kecamatan Bolaang Uki. Lalu tahun berikutnya 2021 bencana alam itu bergeser di Kecamatan Pinolosian Timur, Tengah, Posigadan dan Pinolosian.
Laporan BPBD pada September 2021 bencana banjir di Kabupaten Bolsel menimpa 15 desa: masyarakat yang terdampak sebanyak 2345 kepala keluarga (KK) dan 8320 jiwa. Berdasarkan jumlah ini Kecamatan Pinolosian Timur yang paling tinggi, lalu disusul Kecamatan Pinolosian Tengah, Kemudian Kecamatan Posigadan dan yang terakhir Kecamatan Pinolosian. Bencana banjir ini setidaknya telah menjadi warning setiap tahun bagi masyarakat, lebih-lebih bagi pemerintah daerah.
Ihwal fakta-fakta tersebut sekiranya amatlah tepat “Lokakarya” hadir di tengah bencana banjir yang kerap menyisip dalam kalender tahunan untuk diuraikan musababnya. Salah satu narasumber dalam kegiatan Lokakarya itu adalah Koordinator Unit Bukti Konservasi WCS Indonesia Program, Saddam Husein. Megister Penginderaan Jauh di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini diskusi panel bersama Kepala BPBD Bolsel, Bobby Sampe.
Materi-materi kemudian dipaparkan kepada peserta yang terdiri dari: Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Jurnalis, BKSDA Sulawesi Utara, Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sulawesi Utara, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, pemerintah kecamatan dan Sangadi di beberapa desa. Setelahnya peserta dibentuk dua kelompok. Lalu mengutarakan pandangan berdasarkan realitas kebencanaan di Kabupaten Bolsel dan kemudian memberikan rekomendasi sebagai upaya konsistensi tindak lanjut dari Lokakarya.
Koordinator Unit Bukti Konservasi WCS Indonesia Program, Saddam Hussein, salah satu narasumber Lokakarya menyebut Kabupaten Bolsel merupakan satu-satunya daerah di Sulawesi Utara yang mengerjakan perhitungan Nilai Konservasi Tinggi (NKT). Itu artinya, menurut Saddam Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolsel memiliki kesadaran tinggi perihal lingkungan dan konservasi.
“Senang sekali diundang dan memberikan hasil kajian saya dan tim untuk kemudian diberikan kepada jajaran Pemkab Bolsel dan juga pihak-pihak terkait,” ujarnya. Saddam memulai penjelasan dampak dari sedimentasi.
Saddam menjelaskan, sedimentasi seperti bencana lainnya. Sedimentasi di Bolsel bisa digolongkan sedang, akan tetapi ancaman sedimentasi berdasarkan pengakuan dari sejumlah peserta Lokakarya bahwa telah terjadi pendangkalan sungai; air sungai keruh dan beberapa lokasi terumbu karang yang rusak.
Berdasarkan kajian Saddam, terdapat beberapa faktor yang menjadi akibat sedimentasi, di antaranya: mempertimbangkan faktor curah hujan, tanah, kelerengan dan tutupan lahan. Setiap faktor ini memberikan dampak berbeda-beda. Ia pun mengklasifikasi wilayah di Bolsel perihal tingkat sedimentasi dan deforestasinya.
“Jadi kalau bisa memberikan area prioritas kami buat berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS sebelah barat itu memang tingkat sedimentasinya cukup tinggi, tapi deforestasinya cenderung rendah. Sedangkan sebelah timur tingkat deforestasi cukup tinggi dan sedimentasinya rendah,” katanya.
Wilayah sebelah barat yang dimaksud Saddam adalah Desa Milangodaa dan Duminanga. Sementara wilayah sebelah timur Desa Mataindo, Torosik, Adow dan Sekitarnya. Saddam menyebut, untuk mencegah sedimentasi yang penting dilakukan adalah perlindungan kawasan hutan, termasuk tutupan hutannya. Lalu mengontrol perubahan hutan menjadi tutupan lahan yang lain.
Materi yang dipaparkan Saddam, menggunakan pendekatan ridge too reff atau dari punggung bukit ke terumbu. Katanya, teori ini adalah manajemen untuk mempertimbangkan apa yang terjadi di pegunungan atau di daratan itu akan memengaruhi sampai ke lautan.
“Kerusakan-kerusakan di pesisir atau di laut ada kontribusi yang disebabkan oleh kerusakan yang ada di atas. Ataupun sebaliknya, kalau di atas dikelola dengan baik maka dampaknya juga akan sampai di pesisir. Dan manajemen ini akan berhasil ketika kolaborasi dari hulu ke hilir berjalan dengan baik di setiap stakeholdernya,” ujarnya.
Saddam menyebut sangat mudah untuk melihat kerusakan di hulu, di mana perubahan tutupan hutan menjadi non hutan. Sejumlah peserta Lokakarya mengaku, perubahan itu diakibatkan adanya bekas-bekas Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang hingga sekarang tidak terurus dan tidak ada tindaklanjutnya. Selain itu pula adanya aktivitas penambangan liar.
*
“Bencana alam bisa menghambat pembangunan, meningkatkan angka kemiskinan dan menjadikan apa yang ditargetkan akan kembali ke titik nol rupiah,” ucap Kepala BPBD Bolsel, Bobby Sampe.
Apa yang diutarakan Kaban Bobby bukan merupakan isapan jempol. Sebab, apapun yang dibangun oleh pemerintah di suatu daerah, lebih-lebih itu terkait infrastruktur dengan tujuan mempercepat pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat akan lenyap seketika bila bencana datang melanda. Sehingga teramat penting untuk meminimalisir risiko bencana.
Bobby menyebut, paradigma soal kebencanaan yang selama ini dipahami perlu diubah: misal pemahaman sebelumnya adalah responsif kini preventif (berbasis pencegahan). Dulu sektoral sekarang multisektor. Dari tanggung jawab pemerintah, menjadi tanggung jawab bersama. Terakhir tanggap darurat menuju pengurangan risiko bencana.
Selain itu, kata Bobby, karena Kabupaten Bolsel memang sedari dulu adalah wilayah langganan banjir maka perlu membikin simulasi bencana, menginisiasi desa tangguh bencana, sekolah siaga bencana dan pembentukan relawan di setiap desa. Bukan hanya itu, BPBD dan Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Bolsel sebagai unsur perencana harus menyusun dan melakukan pengawalan penuh terkait pengurangan risiko bencana di dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Strategi (Renstra), Rencana Kerja (Renja) dan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Daerah.
Bupati Bolsel, Iskandar Kamaru, menambahkan dengan adanya kolaborasi pemerintah daerah, BKSDA Sulawesi Utara dan WCS Indonesia Program, paling tidak, adalah upaya menciptakan sejarah untuk senantiasa merawat alam dan lingkungan, berkaitan dengan mitigasi bencana. Sebab, topografi Bolsel yang didominasi pegunungan sangat rentan bencana bila tidak mengintervensi langsung dari hulunya.
“Kita mesti bersyukur punya WCS Indonesia Program. Kerjasama ini luar biasa. Harus diakui, Lokakarya hasil kajian sedimentasi dan upaya mitigasinya di lanskap Kabupaten Bolsel tidak akan terlaksana kalau hanya mengandalkan BPBD,” ujarnya. Iskandar menegaskan hasil kajian dan rekomendasi dalam Lokakarya itu akan nanti diserahkan kepada BKSDA Sulawesi Utara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).*
Apriyanto Rajak