Halid Lemba, M.Sc. – Member di Institute for Humanities and Development Studies (InHIDES)
PERSOALAN Perempuan acapkali hanya menjadi urusan yang bersifat teknis, bukan sebagai agenda yang bersifat strategis. Senyatanya isu-isu terkait perempuan hanya selesai pada acara-acara bersifat seremonial seperti seminar, pelatihan dan lain sebagainya yang cenderung bersifat teknis. Sebenarnya, jika kita ingin serius dalam melihat dan menyelesaikan persoalan ini, diperlukan upaya-upaya strategis; misalnya pembuatan regulasi undang-undang.
Pada dasarnya, persoalan yang dihadapi perempuan bukan masalah sepele, yang bisa diselesaikan dengan mediasi, tetapi lebih mendalam daripada itu. Perempuan sebenarnya menghadapi relasi kuasa yang timpang dan dominasi budaya dalam masyarakat, dan dari dominasi inilah menimbulkan banyak persoalan; misalnya, mengalami berbagai jenis kekerasan, baik kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan budaya (Galtung,1969).
Tulisan ini, hendak ingin mencari tahu mengapa relasi perempuan dan laki-laki selalu terdapat kesenjangan? lantas, jika demikian adanya, bagaimana cara meminimalisir segala jenis kekerasan terhadap perempuan ? dan mengapa regulasi penting?
Menelisik jauh ke belakang, pada peradaban Yunani, perempuan hanya merupakan pemenuhan sex laki-laki, mereka diberikan kebebasan sedemikian rupa dan mereka dipuja untuk itu. Begitupun dalam sejarah romawi, di mana perempuan di bawah kekuasaan ayahnya, setelah kawin kekuasaan pindah ke tangan ayahnya, kewenangan itu termasuk menjual, mengusir dan membunuh. realita itu berlangsung hingga abad ke 5 masehi, atau dalam peradaban Hindu dan Cina di mana hak hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. (Nugroho, 2008).
Di negeri kita pun terjadi hal yang memilukan, pada masa-masa kolonialisme Belanda. Tanda-tanda itu kita bisa lihat dari ulasan surat menyurat R.A Kartini yang berisi tentang kondisi perempuan di Indonesia. Dalam kebudayaan Jawa, perempuan ditempatkan sebagai the second sex yang terlihat adanya pameo swarga nunut neraka katut yang berarti bahwa kebahagian istri hanya tergantung kebahagian suami.
Dari berbagai konteks yang coba disajikan, tersirat dua hal, pertama, bahwa perempuan berada pada posisi tersubordinasi oleh kaum laki-laki, yang diakibatkan oleh penguasaan sumber produksi dan distribusi secara ekonomi dan politik. Kedua, dari pola yang menjadi pakem dalam kehidupan masyarakat kemudian menjadi kebiasaan dan membudaya.
Latar belakang munculnya wacana gender atau kesetaraan pada tahun 1977 paling tidak disebabkan oleh sebagian besar masalah-masalah di atas. Wacana gender dipakai ketika sebagian besar kelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, mereka memilih jargon baru yakni gender discourse. Ide ini menjadi sangat tepat, karena persoalan yang dihadapi perempuan dan laki-laki dikarenakan oleh proses pembentukan pengetahuan dalam masyarakat.
Dengan berbagai latar kesenjangan terhadap perempuan, maka persoalan-persoalan yang mestinya dilakukan seperti menciptakan rasa keadilan bagi perempuan dengan seutuh-utuhnya dengan rekognisi identitas perempuan yang tersubordinasi.
Kesenjangan terhadap perempuan tersebut, kemudian merambat ke persoalan lain misalnya kekerasan seksual terhadap perempuan, kekerasan terhadap asisten rumah tangga, dan lain sebagainya. Beberapa upaya yang dilakukan dalam rekognisi identitas perempuan tersebut yakni pembuatan regulasi perundang-undangan. Secercah harapan terlihat setelah diterbitkan UU TPKS april 2022 lalu. hal ini pun sekaligus mengindikasikan, bahwa terdapat keseriusan pemerintah dalam melindungi perempuan dari tindak kekerasan.
Hanya saja dalam beberapa hal persoalan kekerasan terhadap perempuan tidak mendapat keseriusan dari pemerintah. Misalnya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang terus di dorong untuk menjadi undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga yang sudah diajukan sejak tahun 2004.
Berbagai argumentasi tandingan yang secara langsung maupun tidak masih mengukuhnya bias gender membuat RUU ini belum kunjung disahkan. Padahal, RUU ini sangat penting sebagai payung hukum bagi pekerja rumah tangga agar dapat bekerja dengan kondisi yang layak, jaminan sosial dan upah yang pantas serta terlindungi dari tindak kekerasan.
Komnas Perempuan (2020) mengutip data International Labor Organization (ILO) pada 2015 bahwa terdapat 4.2 juta jiwa jumlah PRT di Indonesia. Sementara itu, ada 60-70% pekerja migran Indonesia adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT di luar negeri. Dengan kondisi jumlah PRT yang terus meningkat ini membuat urgensi pengesahan RUU PRT ini seharusnya menjadi konsen bersama oleh semua berbagai stakeholders.
Dalam konteks Gorontalo, sayangnya, isu ini belum banyak dibicarakan. Ada beberapa alasan yang meliputi hal ini. Pertama misalnya, isu PRT lebih dekat pada profesi “pembantu” yang dalam konstruk lokal, dianggap merupakan momok. Di dalam bahasa Gorontalo, pembantu disebut sebagai babu atau, jika menelisik “makna akarnya” lebih jauh, adalah Wato, atau budak para raja atau majikan. Perlakuan kepada Wato pun di masa-masa pra-Kolonial dan kolonial pun begitu diskriminatif sehingga, stigma semacam inilah yang mempengaruhi konstruksi masyarakat mengapa hingga saat ini menjadi PRT cenderung tidak baik (Berger,1990).
Konsekuensi logis dari proses internalisasi yakni, menjadi PRT dapat menurunkan status dan harkat martabat seseorang. Pemaknaan-pemaknaan seperti ini kemudian membentuk stock of knowledge dalam masyarakat secara terus menerus. Di dalam bahasa Gorontalo, konteks PRT memiliki prinsip dila biasa (bukan kebiasaan); Moomu (segan/enggan); moolito (malu/memalukan). Lebih dari itu, PRT dalam konteks Gorontalo pun tidak didasari oleh kontrak kerja antara majikan dengan PRT bersangkutan. Sehingga, memungkinkan subjek PRT berada dalam kondisi rentan. Jadi, ada problem etis yang dikandung di dalam status PRT jika dilihat dalam konstruk lokal Gorontalo.
Masalah selanjutnya, belum ada pakem aturan yang bicara secara spesifik tentang PRT. Kalau pun ada, para PRT ini dikategorikan bekerja pada sektor non-pemerintahan/informal. Data BPS di tahun 2015 memperlihatkan bahwa seluruh angkatan kerja di kota Gorontalo saja, seluruhnya berjumlah 98.195 dan lebih banyak didominasi oleh perempuan, baik yang sudah berumah tangga, bukan angkatan kerja dengan peran mengurus rumah.
Menarik untuk diperhatikan adalah soal permintaan terhadap jasa PRT di Gorontalo juga semakin meningkat dan hal ini dibuktikan dengan hadirnya berbagai lembaga penyalur PRT seperti Yayasan Lokon Nusantara, dari Manado; CV. Mahmuda Jaya, dari Kalimantan; LPK Cinta Keluarga, dari Semarang; PT Anugrah Rajendra; dan terakhir Jasa Pembantu Rumah Tangga Boliyohuto. Dari lembaga penyalur PRT ini, memberi simpulan sementara, bahwa PRT semakin meningkat di Gorontalo.
Bersamaan hadirnya kenyataan seperti ini, menunjukkan bahwa RUU PPRT wajib untuk ada dan dikawal hingga sah. Karena persoalan-persoalan seperti ini harus menjadi program yang strategis dan tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat teknis. Karena pada dasarnya, persoalan yang dihadapi perempuan bukan masalah bagaimana terpenuhinya kebutuhan dasar dan ekonomi, tetapi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut berkelindan persoalan dominasi budaya dan ekonomi antara majikan dan PRT. Karena pada dasarnya soal-soal ketimpangan, kesenjangan dan ketidakadilan, harus dijawab dengan kesetaraan, menciptakan rasa aman bagi mereka yang tertindas dan mengalami segala jenis kekerasan. Dengan upaya-upaya rekognisi identitas perempuan seperti itu, kita berharap bisa mentransformasi kekerasan pada perempuan.