InHIDES dan Komnas Perempuan Gelar Diskusi Terkait RUU PPRT

Capture Webinar  terkait Perencanaan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), Rabu (20/4/2022) dengan tema “Habis TPKS Terbitlah UU PPRT”. 
Capture Webinar  terkait Perencanaan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), Rabu (20/4/2022) dengan tema “Habis TPKS Terbitlah UU PPRT”. 

Gorontalo – Institute for Humanities and Development Studies (InHIDES) bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menggelar webinar terkait Perencanaan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), Rabu (20/4/2022) dengan tema “Habis TPKS Terbitlah UU PPRT”. 

Direktur InHIDES, Tarmizi Abbas mengatakan RUU PPRT harus menjadi undang-undang yang menjadi dasar untuk pekerja rumah tangga untuk mendapatkan hak-hak mereka. Pasalnya, PRT merupakan salah satu profesi yang harus dihargai dan dihormati, serta harus diatur dalam undang-undang.

Bacaan Lainnya

“Sampai hari ini, belum ada aturan yang mengatur lebih spesifik tentang PRT. Terlebih lagi, data BPS tahun 2022 menyebutkan bahwa profesi PRT masih dikategorikan bukan angkatan kerja,” kata Tarmizi Abbas 

Padahal, berdasarkan survei yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 2015, terdapat 4,2 juta PRT di Indonesia. Sementara JALA PRT memperkirakan jumlah PRT di tahun 2022 telah mencapai 5 juta orang.

Ironisnya, sepanjang tahun 2015 sampai 2019, telah terjadi 2,148 kasus kekerasan yang dialami oleh pekerja rumah tangga di Indonesia, dan kasus-kasus ini terus meningkat setiap tahun sampai dengan saat ini. Menurut Tarmizi, hal ini yang melatarbelakangi pihaknya meminta RUU PPRT ini bisa disahkan menjadi Undang-undang.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini menjelaskan pihaknya menemukan kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga benar-benar terjadi. PRT juga tidak memiliki akses atas pelayanan kesehatan selama pandemi Covid-19, dan harus menyediakan peralatan kesehatan sendiri.

Selain itu, pihaknya juga menemukan PRT tidak memiliki akses atas bantuan sosial, terutama bagi yang tidak memiliki KTP. Ada peningkatan tuntutan kerja, baik di rumah sendiri maupun dirumah pemberi kerja. Ada juga PRT yang kehilangan pekerjaannya, atau berkurangnya upah, karena pembatasan jarak sosial.

Tak hanya itu, pihaknya menemukan am kerja yang dilakukan oleh PRT juga lebih dari 14 jam, dan PRT sangat rentan terhadap kekerasan di rumah tangga pemberi kerja, atau dirumah sendiri. Bahkan, ada berkurangnya dana makan dan kontrakan PRT, hingga terlilit dengan hutan.

“Sehingga dengan masalah-masalah yang kita temukan ini, sangat penting untuk RUU PPRT disahkan menjadi Undang-undangan agar semua pekerja rumah tangga bisa dilindungi secara penuh,” tutupnya

Pos terkait