Memulai Bekerja Sebagai Antropolog: Catatan buat Yowan Tamu Alumni Antropologi UNHAS Makassar

Romo Samsi Pomalingo -Mahasiswa S3 Antropologi UNHAS Makassar 
Romo Samsi Pomalingo -Mahasiswa S3 Antropologi UNHAS Makassar 

Oleh: Romo Samsi Pomalingo -Mahasiswa S3 Antropologi UNHAS Makassar 

ADA PEMANDANGAN baru terlihat pada tanggal 7 Juli 2022. Departemen Antropologi Universitas Hasanuddin Makassar meluluskan salah seorang mahasiswa dengan predikat cumlaude. Dia adalah Yowan Tamu kelahiran Marisa Kabupaten Pohuwato. Yowan Tamu adalah antropolog pertama di kampusnya Universitas Negeri Gorontalo. Kampus  Merah Maron ini terus melahirkan para ilmuwan yang kompeten dalam ilmunya.

Bacaan Lainnya

Yowan Tamu, menulis disertasi yang cukup tebal dengan judul  ‘Pengetahuan Tradisional dan Modernisasi Pertanian; Studi Interaksi dan Perubahan Sosial Budaya Pada Pengolahan Padi di Duhiadaa, Kabupaten Pohuwato. Judul ini menarik dan mampu dipertahankan dalam ujian tertutup. Sebenarnya diskursus tentang panggoba telah banyak ditulis oleh beberapa sarjana Gorontalo, namun tulisan melalui sentuhan tangan Yowan Tamu memberi perbedaan dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Salah satunya adalah penggunaan antropologi sebagai ilmu yang dipakai untuk melihat lebih jauh ritual panggoba. Merekam dengan ketat secara emik pengetahuan masyarakat Duhiadaa Gorontalo tentang panggoba dalam tradisi menanam padi.

Disinilah salah satu keunggulan (novelty) dari karya Yowan Tamu. Tidak berhenti disitu, Yowan Tamu alumni dari CRCS (center for Religion and Cross Cultural Studies) Universitas Gadjah Mada memperluas kajian antropologinya dalam melihat pola interaksi dan perubahan sosial budaya dalam masyarakat Duhiadaa Gorontalo. Disertasi yang ditulis menggunakan metode etnografi terkait panggoba pasti menarik untuk dibaca karena mengandalkan data dari para informan kunci. Pendekatan ini menarik karena kekuatan datanya terletak pada informan yang didapat secara emik dan bukan etik. Sehingga data tidak ‘bias” dan bebas dalam interpretasi peneliti. Karena metode etnografi dapat menghasilkan pemahaman yang mendalam untuk menggambarkan kebudayaan tertentu. Hal ini disebabkan oleh data yang diperoleh berasal dari sumber utama (informan kunci). Olehnya kelebihan metode etnografi yang digunakan oleh Yowan Tamu dalam disertasinya dapat membantu mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang diangkat.

Namun, problemnya sekarang adalah bagaimana memulai bekerja sebagai antropolog. Apakah ingin bekerja (penelitian) seperti yang dilakukan oleh Clifford Geertz, Talal Asad dan antropolog lainnya? Tentu tidak mungkin, atau akan bekerja seperti antropolog senior Indonesia seperti  Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan, atau generasi belakangan seperti Irwan Abdullah? Boleh jadi, karena seorang antropolog tidak hanya bekerja di dalam ruang kelas, melainkan lebih banyak untuk melihat, menemukan (meneliti) fenomena sosial-budaya dalam kehidupan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di pedalaman dengan sistem pengetahuan tradisionalnya. Jika kerja-kerja pengetahuannya hanya di dalam kelas, maka itu pekerjaan seorang teoritikus antropologi.

Menjadi antropolog itu menarik, ia akan senantiasa bersentuhan dengan dunia luar karena “ruang” itu akan mendorongnya untuk memproduksi teori-teori baru tentang kebudayaan masyarakat. Antropolog mempelajari budaya, bahasa, peninggalan arkeologis, dan karakteristik fisik orang-orang di seluruh dunia dan sepanjang waktu. Biasanya, mereka melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan dan menguji hipotesis tentang perilaku dan budaya manusia.

Kebanyakan antropolog bekerja baik di organisasi penelitian, untuk pemerintah, atau di perusahaan konsultan. Sama halnya yang dilakukan oleh Arkeolog yang fokus pada temuan fisik; mereka menganalisis sisa-sisa manusia dan artefak seperti peralatan, tembikar, lukisan gua, dan reruntuhan. Mereka juga melestarikan artefak, dan menafsirkan signifikansi mereka melalui pengetahuan mereka tentang informasi terkait sejarah. Artinya menjadi seorang antropolog itu menarik tapi juga sangat berat, karena dia butuh ruang dan waktu yang ia gunakan untuk memproduksi pengetahuan dari riset-riset ilmiah yang dia lakukan.

Menyandang gelar antropolog ternyata tidaklah mudah karena antropolog adalah ilmuwan yang ingin mendalami, mempelajari, dan memahami umat manusia. Bagaimana mereka melakukan ini? Dengan meneliti dan mempelajari artefak, budaya kuno, dan bahasa kuno. Penelitian seperti ini membuat para antropolog pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana peradaban dan perilaku modern muncul. Ini kemudian dapat diterapkan pada kebijakan sosial dan masalah publik. Antropolog dapat mengatasi masalah manusia yang besar, seperti pertumbuhan penduduk, ketidaksetaraan, globalisasi, dan kemiskinan.

Antropolog mempelajari orang melalui budaya, sementara ilmu sosial lainnya, (seperti psikologi, teknik dan ergonomi), mengkhususkan diri dalam aspek tunggal. Saya pernah membaca tulisan dari seorang antropologi terkemuka yaitu Alfred L. Kroeber (1876-1960), yang mengatakan, “Antropologi adalah ilmu yang paling humanistik dan paling ilmiah dari ilmu-ilmu kemanusiaan.” Seorang antropolog berbeda dari seorang sejarawan. Sementara seorang antropolog akan memfokuskan studi mereka pada manusia dan perilaku manusia, sejarawan akan melihat peristiwa dari perspektif yang lebih luas.

Para antropolog belajar mendengarkan tanpa menghakimi dan memahami bahwa mungkin ada lebih dari satu pandangan dunia. Dengan melakukan itu, mereka belajar untuk mengamati keyakinan dan perilaku budaya mereka sendiri secara lebih kritis. Disinilah tugas utama yang harus dilakukan oleh seorang antropolog.

Saya kira dengan hadirnya Yowan Tamu sebagai antropolog pertama di Universitas Negeri Gorontalo akan memberi warna baru dan babak baru dalam ruang-ruang pengetahuan terutama dalam bidang ilmu antropologi.

Pos terkait