Oleh: Firanti Febriani Retnowati – Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
KELAPA SAWIT merupakan komoditas ekspor yang paling berpeluang untuk menjadi ekspor unggulan di Indonesia.Di Indonesia sendiri konsumsi minyak sawit mempunyai persentase yang lebih tinggi dibandingkan minyak nabati yang lain. Hal ini disebabkan karena keunggulan yang komparatif yang terdapat pada minyak sawit, yang antara lain sebagai bahan baku minyak goreng, dan dapat digunakan sebagai bahan baku lainya, selain itu minyak sawit memiliki harga bahan baku termurah dibandingkan dengan bahan baku yang lain seperti minyak kedelai dan bunga matahari.
Pada sekitar bulan Februari 2022 sangat ramai dibicarakan mengenai fenomena kelangkaan minyak goreng di Indonesia. Dimana kelangkaan yang terjadi membuat harga minyak goreng pada saat itu sangatlah mahal. Adanya kelangkaan minyak goreng dan juga harga minyak goreng yang mahal yang terjadi disinyalir karena faktor utama yakni adanya kenaikan harga CPO (Crude Palm Oil) Internasional yang cukup tajam. Selain itu adanya pendistribusian yang tidak merata dan turunnya hasil panen sawit pada semester kedua juga merupakan salah satu penyebab kelangkaan minyak goreng dan naiknya minyak goreng di pasaran.
Padahal dengan adanya kebijakan Domestic Market Obligation dimana para produsen lokal CPO telah mememenuhi kebijakan ini dengan memasok kurang lebih sebanyak 351 juta liter minyak yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri dengan kebutuhan selama per bulan kurang lebih berkisar 300 juta liter. Dimana seharusnya dengan pasokan tersebut, dalam jangka waktu sebulan pasar dalam negeri dipenuhi oleh produk-produk minyak goreng namun justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Kenaikan harga yang terjadi saat itu telah direspon oleh pemerintah dengan melakukan OP ( Operasi Pasar ). Dimana pemerintah telah menyalurkan sekitar 11 juta liter minyak dengan harga 14000 per liternya, dengan cara menyalurkan minyak goreng melalui pasar modern maupun pasar tradisonal secara merata. Namun, walaupun tindakan ini dilakukan langkanya minyak goreng dan naiknya harga minyak masih sangat terlihat.
Dimana hal ini dapat terjadi dikarenakan logistiknya belum lancar yang disebabkan karena aturan yang dibuat saat itu sangat mendadak dan juga belum sistematis. Ketika dipatok HET (Harga Eceran Tertinggi) , produksi untuk HET belum tersedia, dimana yang tersedia hanya produksi minyak goreng lama sehingga produsen tidak mau menjualnya karena dirasa akan rugi dengan adanya biaya produksi.
Kebijakan Minyak Goreng dengan mematok harga atau menetapkan HET saya rasa kurang tepat bila tidak menghitung ulang berapa sebenarnya biaya memproduksi satu liter minyak goreng sampai kepada konsumen akhir. Bila sudah dihitung ulang biaya produksi sesungguhnya baru ditetapkan HET dengan menerapkan sanksi kepada produsen yang tidak menerapkan HET tersebut.
Sebenarnya akar masalah minyak goreng seharusnya dilihat ketika harga minyak naik sejak September 2021 lalu, dimana minyak goreng masih tersedia di pasaran akan tetapi masyarakat kesulitan untuk membeli minyak goreng disebabkan harga yang mahal. Hal ini terjadi karena adanya hukum pasar dimana ketika harga mahal, biasanya barang sedikit tersedia bahkan langka. Bila demikian kasusnya maka seharusnya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah dengan dengan membuat barang banyak sehingga harga murah bahkan dapat kembali normal.