Ritual Mopoa Huta dan Lati-latiyalo, Suatu Kajian Etnografi Momy Hunowu, Doktor Antropologi

Romo Samsi Pomalingo
Romo Samsi Pomalingo

Oleh; Romo Samsi Pomalingo

SEKETIKA saya terperanjak ketika membaca disertasi Momy Hunowu. Sebuah disertasi yang langka yang ditulis oleh seorang dosen dan antropolog di lingkungan Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo. Tepat pada tanggal 13 Juli 2022 hasil penelitiannya yang berjudul “Ritual Mopoa Huta pada Masyarakat Petani Muslim di Molalahu Kabupaten Gorontalo (Sebuah Analisis Tradisi Diskursif) dipresentasikan dihadapan para penguji pada ujian promosi doktor departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.  

Bacaan Lainnya

Sehari sebelum ujian promosi, saya menghubungi Momy Hunowu melalui WhatsApp grup Dr. Celengan yang hanya beranggotakan 3 orang saja yaitu Arfan Nusi, Momy Hunowu dan saya sendiri. Sengaja dinamai grup Dr. Celengan karena kami bukan orang yang punya uang, tidak punya beasiswa dan hanya bermodalkan gaji yang ditabung untuk bayar SPP. Tidak seperti beberapa teman lainnya yang punya jabatan di pemerintahan dan memiliki usaha. 

Pada hari selasa saya menanyakan kesiapan ujian promosi Momy Hunawa, dia justru menjawab “Bo watiya mahe ampaliyo lo molilimelo duhelo wawu didu opongonga” (saya mulai dianfal sesak nafas dan tidak ada nafsu makan). Saya tertawa dan sejenak berfikir, wah ternyata berat juga ujian promosi. Segera saya menjawab semoga Allah swt memudahkan ujian Kakak Momy besok (13 Juli 2022).

Disertasi Momy Hunowy diceritakan ketika ujian tutup banyak mengalami kejadian yang aneh-aneh dan itu diungkapkan oleh promotor, “Penelitiannya Pak Momy ini banyak menceritakan setan, dan saya merasakan banyak keanehan pada ujian ini, salah satunya LCD tidak berfungsi”, sontak ketika itu para penguji dan ko-promotor tertawa. Bahkan dalam disertasinya penulis dilarang oleh Wombuwa untuk menuliskan nama dari sosok Bapu yang diyakini sebagai wali. Alasannya jika ditulis nama wali tersebut, dia tidak akan bertanggungjawab jika ada yang terjadi pada diri penulis. Tentunya ini harus ditaati oleh seorang peneliti, karena peneliti dituntut untuk bersandar pada etika penelitian.

Ritual Mopoa Huta artinya suatu ritual “memberi makan tanah”, ketika para petani hendak menanam padi. Tradisi ini dalam masyarakat petani Muslim Gorontalo. Bagi kalangan Muslim modernis jelas ini adalah suatu bentuk praktek kemusyrikan. Sebab kalangan Muslim modernis memiliki kecendrungan untuk mencari legitimasi kemudian secara tidak langsung melahirkan apa yang disebut fenomena ortodoksi dan ortopraksi. Pandangan ini jelas keliru dalam pandangan emik masyarakat petani. Ritual mopoa huta adalah mekanisme kompromi agar setan tidak mengganggu manusia. Dalam disertasinya penulis menuturkan pandangan seorang informan soal ritual mopoa huta:

Musi poponaolo duduluwo, ulo mongo panggola wawu syareati. Dila mowali bo nao-nao ngoa. sababu ilimu lo mongo panggola botiye ma obukti liyo. Wawu sareati da uma ahu-ahulayi ode manusia. Dauwitolo wanu mongatulu kambungu, mola mulayiyalo lou mojiara ode kuburu lo ta awuliya. lapatao mamo poa huta. lapatao mola untiyala lou mongadi salawati. Dadiyalu usyiriki teto. Mongohi hantalo yito bomongohi mao tayadi mongoliyo, timao ulimongoli, bo dila me gangguwa ami, tonu usyiriki teto? Artinya: Mesti dijalankan dua-duanya, warisan leluhur dengan syari’at Islam. Tidak bisa hanya salah satunya dijalankan, sebab kearifan lokal ini sudah terbukti. Sedangkan syariat adalah yang diperintahkan (Tuhan) kepada manusia. Itu sebab ketika hendak mengatur kampung (mopoa huta), dimulai dengan ziarah ke makam aulia (sebagai washilah), setelah itu menggelar upacara mopoa huta, dan diakhiri dengan doa bersama (membaca sholawat), ini menunjukkan ketidak-syirikan. Memberi sesajen itu bertujuan memberikan bagian makhluk halus, “ini bagian kalian, jangan ganggu kami, di mana keyirikan disitu”?

Sangat jelas bahwa mopoa huta bukan ritual penyembahan terhadap setan melainkan sebuah pengakuan bahwa di luar diri manusia ada makhluk halus (lati) yang senantiasa menggangu aktivitas manusia. Bagi masyarakat petani selain hama yang bisa merusak tanaman, juga diyakini ada pengaruh dari kekuatan makhluk halus atas tanaman mereka. Di Gorontalo, orang tua sering mengajarkan kepada anaknya “kalau anda makan di luar rumah, jangan lupa bagikan sebagian dari makananmu untuk setan, agar mereka tidak mengganggumu”. Tradisi diskursif seperti ini masih sangat kuat dalam masyarakat pedesaan Molalahu Gorontalo.

Dalam masyarakat petani Muslim Molalahu, lati-latiyalo memiliki hubungan integratif dalam ritual mopoa huta. Karena esensi dari mopoa huta adalah agar lati (setan) tidak mengganggu manusia. Dalam disertasi Momy Hunowu, ia berhasil mengungkap jenis-jenis setan (lati-latiyalo). Di antara komunitas dan struktur lati-latiyalo tersebut, terdapat komunitas utama jin yang terdiri dari tujuh belas jin. Mereka terdiri dari jin Islam dan jin kafir.  Ketujuh belas jin ini memiliki nama tersendiri sebagai berikut:1) olongiya lojini mela (raja jin merah), 2) olongiya lojini kapiru (raja jin kafir), 3) olongiya lojini isilamu (raja jin Islam), 4) tiyota yilombungo (jin beranak pinak), 5) tiyo tayilobolio (jin yang berubah), 6) tiyo tato yitato (jin di atas) 7) tiyo tibuwa nini (jin perempuan mungil), 8) tiyo tibuwa kiki (jin perempuan kecil), 9) tiyo tabilotao (jin terbelah), 10) tiyo te abo (jin si abo), 11) tiyo tato bilulanga (jin Bilulanga) 12) tiyo tato tilontalanga (jin berjatuhan) 13) tiyo tato ayabe (jin yang dikipas), 14) tiyo tatohu’u atiyo (jin lutut dan kaki), 15) tiyo tatongguutiyo (jin gerak cepat), 16) tiyo tato lale (jin janur kuning) 17) tiyo tato pala hungolawa (jin pala dan cengkih).

Ketujuh belas lati diyakini berhubungan dengan tubuh manusia walaupun para lati tersebut tidak hidup berdampingan dengan manusia, karena para lati hidup di alam lain yang sewaktu-waktu dapat diundang untuk kepentingan manusia. Dalam pandangan masyarakat petani Muslim Molalahu bahwa para lati ittu harus diatur melalui ritual dayango dan sesajen (hantalo). Pada hakekatnya pengaturan terhadap lati-latiyalo sebagai upaya untuk memberi tugas para lati tersebut untuk menjaga tanaman para petani agar jauh dari gangguan hama, penyakit aneh dan supaya tanamannya subur.

Kekuatan disertasi yang ditulis oleh Momy Hunowu terletak pada analisis yang ia gunakan untuk melihat tradisi diskursif dalam pemahaman masyarakat Muslim tradisional. Tradisi diskursif sebagai kerangka teoritis dan metodologis yang digagas oleh Talal Asad sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan lama dalam meneliti Islam sebagai sebuah tradisi diskursif. Asad dipengaruhi oleh konsep tentang “tradition” yang dirumuskan oleh filosof Katolik kontemporer, Alasdair MacIntyre, konsep discourse dari Michel Foucault, dan konsep orthodoxy (doxa) dari Pierre Bourdieu. Disinilah Momy Hunowu melihat ritual mopoa huta dalam tardisi masyarakat Muslim petani Molalahu.

Pos terkait