Setiap Orang adalah Jurnalis

Ilustrasi penulis (Sumber foto: Pixabay.com)
Ilustrasi penulis (Sumber foto: Pixabay.com)

Oleh: Rio Ismail – Pendiri The Ecological Justice

“Reason has always existed, but not always in a reasonable form” (Alasan selalu ada, tapi tak selalu dalam bentuk yang wajar). Itu kata Karl Marx. Polisi, dalam kasus “poldorpol” (polisi dor polisi), juga pakai skema seperti yang diungkapkan Marx. 

Publik yang makin “garang” —dan menuntut informasi yang benar— justru disuguhi alasan yang tidak masuk akal. Sejumlah media maenstream malah kehilangan nyali untuk menggali apa dibalik fakta versi polisi. Akhirnya sinisme, sarkasme, makian dan kemarahan —yang dibumbui disinformasi dan hoax— bertebaran di media sosial dan makin menambah beban publik dalam mencerna informasi.

Yang disalahkan kemudian adalah karena makin banyak orang yang mengajukan dua pertanyaan terpenting —yang juga terpenting dalam jurnalisme investigatif— yaitu mengapa (why) dan bagaimana (how). Polisi berkelit dari pertanyaan ini, dan sebagian wartawan enggan menggalinya. 

Tahukah aparat kepolisian —yang memang hanya dilatih untuk menginterogasi (dan bukan mendengar pertanyaan) para pesakitan— bahwa membungkam pertanyaan adalah sumber kebodohan terbesar, yang bisa meletupkan aksi protes dan aksi massa? Tahukah para jurnalis ada kepentingan yang dipertahankan dalam sikap dangkalnya terhadap fakta?

Terbukti, petinggi Polri akhirnya “mengoreksi” alasan yang tidak form di tengah kepungan dahsyat pertanyaan dan cuitan nyaring publik. Langkah “korektif” yang dilakukan adalah, menonaktifkan Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Divisi Propam Polri Brigjen Hendra Kurniawan dan Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto. Sebelumnya Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo yang sudah dinonaktifkan. 

Meski begitu, belum ada jawaban pasti tentang apa  dan bagaimana sesungguhnya posisi kasus “poldorpol” (polisi dor polisi) yang terjadi di rumah perwira tinggi itu. Tak ada komen lengkap, juga tak dijelaskan mengapa ketiga orang ini dinonaktifkan. 

Kecuali pernyataan bahwa itu untuk memudahkan penyelidikan atau penyidikan. “Tunggulah hasil lengkap penyelidikan tim khusus”, kata Kapolri. Seakan publik diminta menginterpretasikan sendiri apa pesan tersembunyi di balik penonaktifan itu (pasti ini pula yang hari berikut akan memunculkan apa disebut sebagai circular reaction dalam psikologi komunikasi).

Kasus “poldorpol” menjadi salah satu contoh menarik tentang bagaimana publik memaksakan melalui berbagai media atau saluran informasi. Polisi yang punya kuasa aparat dan bedil pun akhirnya “mengalah” pada kehendak publik. 

Media, tidak hanya dalam artian sederhana berdasarkan konsep atau teori multimedia, tetapi juga dalam artian integrated communication atau integrated media, bisa memaksa polisi untuk tidak bisa lagi berlindung di balik pernyataan berbasis pada “alasan yang tidak form”.

Jalin-menjalin informasi melalui media mainstream, medsos maupun berbagai saluran komunikasi non media hingga rumor dari mulut ke mulut telah membentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan masif publik dalam kasus “poldorpol” (bahkan juga dalam kasus lainnya yang terkait dengan kepentingan publik). Publik menjadi lebih cepat bereaksi dan memberikan pesan balik yang sangat keras kepada polisi.

Semoga saja kecenderungan semacam ini bisa memaksa para birokrat dan politisi curang, korup, culas —dan sering mengorbankan publik— untuk akhirnya bertekuk-lutut di bawah kehendak publik. Seperti halnya polisi yang berlindung di balik alasan yang tidak formal dalam kasus “poldorpol”.

Kini, dunia semakin diperhadapkan dengan kenyataan bahwa tekanan informasi di medsos makin mengukuhkan kecenderungan baru: everybody as journalist. Banyak orang mulai terbiasa belajar dari media yang kini makin bersifat tidak hanya massif tetapi juga menjadi sangat individual (seperti konstatasi Toffler pada tahun 70-an). Siapapun bisa menuliskan atau memvideokan apa yang dianggap bermasalah. 

Meski, kita juga menyadari bahwa kecenderungan ini sering berimpit dengan menguatnya hoax dan disinformasi. Namun bagi saya, proses keterbukaan serta kejujuran dan keadilan informasi yang diperankan oleh siapapun yang memiliki akses pada media —dan terutama oleh siapapun yang menganggap diri sebagai jurnalis— pada jangka panjang akan akan memupus hoax dan disinformasi beserta dampaknya.

Jadi, saya masih percaya pada apa yang diungkapkan Tom Stoppard, penulis dan juga penulis skenario asal Cekoslowakia. Dia mengatakan, “jika tujuan Anda adalah untuk mengubah dunia, jurnalisme adalah senjata jangka pendek yang lebih cepat”. 

Jurnalisme memang mengubah banyak hal. Saya juga bertumbuh menjadi aktivis dengan memulai sebagai jurnalis di Manado. Sebagai jurnalis, saya bisa belajar dengan sangat gigih mengenai banyak hal. Sehingga saya akhirnya bisa menulis apa yang benar dan pantas berdasarkan kaidah moral-etik maupun standar keadilan legal, keadilan distributif, keadilan komutatif, keadilan gender, dan keadilan ekologis. 

Trend everybody as a journalist saat ini sungguh memukau banyak orang. Namun ruang bebas ini tentu saja menuntut tidak hanya kemampuan teknis jurnalistik. Tetapi juga standar moral, etika, intelektualitas atau kemampuan analisis. 

Jika Anda hanya sekedar menulis apa yang dikatakan sumber berita (kentut dan omong kosong yang tidak punya nilai moral-etik dan standar kebenaran pun ditulis); menulis berita pesanan; atau hanya ingin menjadi pendukung entitas politik tertentu; sudah malas berpikir dan kehilangan standar moral-etik; bahkan sudah tak paham apa arah perubahan yang mesti didukung, maka berhentilah menjadi jurnalis. 

Galilah sendiri “kuburan jurnalistikmu ” sebelum peran “everybody as a journalist” yang tidak bertanggung jawab mengorbankan kepentingan banyak orang bahkan kepentingan ekologis.

Pos terkait