Oleh: Mochammad Bambang Sadewa – Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
PERKEMBANGAN politik di dunia saat ini sangatlah cair. Jika dahulu dunia berkembang dengan ide kapitalisme dan sosialisme, namun pada saat ini merebak ide populisme yang diyakini sebagai paham perspektif yang baru. Ide populisme tersebut muncul dilatarbelakangi dengan timbulnya krisis-krisis yang ada, seperti krisis ekonomi, kemiskinan, diferensiasi sosial, jumlah pengangguran yang meningkat, dampak globalisasi dan eksploitasi sumber daya alam yang dari beragam faktor tersebut kemudian timbul klaim-klaim populisme.
Menurut KBBI, pengertian populisme adalah sebuah paham yang mengklaim untuk mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Namun ide populisme ini dapat dijadikan sebuah serangkaian strategi yang digunakan oleh suatu oknum untuk menjanjikan hal lebih dari apa yang telah direalisasikan, atau cara dalam mencoba meningkatkan simpatisan dan popularitas mereka dengan memperlihatkan kedekatannya dengan rakyat jelata dan berbicara dengan bahasa mereka.
Fleksibilitas populisme adalah mampu untuk dapat memberikan ruang dan masuk ke dalam setiap ideologi dan perspektif seperti sosialisme, nasionalisme, rasisme, anti imperialisme dan neoliberalisme. Populisme yang menjadi fokus dalam artian ini berhubungan dengan polarisasi, moralitas politik yang pada akhirnya menjadi sub-tipe dari politik identitas yang dalam hal ini adalah politisasi yang fokus dalam faktor keagamaan.
Populisme semacam ini cenderung menarik perhatian masyarakat khususnya di Indonesia karena dianggap sebagai suatu ekspresi politik masyarakat dalam menyampaikan ketidakpuasan mereka terhadap struktur rezim dan kekuasaan yang sudah dominan.
Iklim yang terjadi pada perpolitikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sejatinya telah diwarnai dengan isu-isu yang dirancang persis serupa dengan politisasi agama. Pengertian politisasi agama sendiri merupakan suatu perbuatan dan sikap yang berupa gagasan, ide dan pemahaman yang terkait dengan unsur agama yang sudah menjadi politik, bukan agama lagi. Fenomena ini tentu dapat merusak nalar demokrasi di Indonesia.
Politisasi agama yang terjadi di Indonesia biasanya tereksplisit dengan penggunaan norma-norma agama, doktrin, ajaran, teks, prinsip, pidato dan simbol untuk tujuan politik praktis dalam merengkuh kekuasaan. Artinya, agama dapat digunakan, dimanipulasi, dan dieksploitasi dengan cara ini, baik oleh individu maupun oleh kelompok sosial tertentu untuk kepentingan dan kekuasaan politik praktis serta demi meraih keuntungan material ekonomi tertentu.
Salah satu contoh dalam fenomena tersebut yang terjadi yakni pada Pilkada 2018 DKI Jakarta dan Pemilu Presiden 2019 yang menjadi sebuah kontestasi dan tarik ulur simbol keagamaan yang bersifat dinamis yakni dapat berubah dengan menyesuaikan situasi politik yang terjadi. Penggunaan isu keagamaan yang berlebihan dalam politik memang dapat memicu konflik yang berujung pada perpecahan antar golongan sehingga menyebabkan keruntuhan persatuan umat beragama. Yang kemudian hal tersebut telah melatarbelakangi menguatnya politik kebencian di Indonesia dan menyimpangnya etika politik dari asas dasar Pancasila ketiga yakni Persatuan Indonesia.
Dengan demikian, tantangan kedepannya bagi perpolitikan Indonesia adalah dengan bagaimana mengupayakan fenomena politisasi agama ini kemudian tidak terjadi kembali dimasa yang akan datang. Dengan meningkatkan sumber daya manusia dalam setiap individu dirasa akan dapat meminimalisir munculnya fenomena semacam ini, baik dengan meningkatkan literasi membaca berita yang faktual dan tidak terkontaminasi dengan hoax di dalamnya hingga menilai suatu fenomena dengan melihatnya dari berbagai macam sudut pandang, yang sejatinya hal tersebut dapat mengantisipasi dari datangnya sifat dan sikap yang bersifat fanatik dan sebagainya.