Penulis: Yanto Atjil – Ketua II PC PMII Kota Gorontalo
Konflik: kalimat itu acap kali hangat dilekatkan dengan PMII, khususnya di Cabang Kota Gorontalo kurang lebih tiga tahun ini, setelah sebelumnya damai dan tentram. Dari sedikitnya empat cabang yang ada di Gorontalo, hanya PMII Kota Gorontalo yang kerap akrab berjibaku dengan konflik dualisme jabatan, yang sampai saat ini belum mampu diselesaikan oleh siapapun, termasuk Pengurus Besar (PB) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sekali pun.
Bagaimana bisa diselesaikan, toh PB PMII sendiri yang terlibat, sebagai bara pemicu konflik tersebut. Dengan berani-beraninya meng-SK-kan ketua yang lahir dari rahim Konferensi yang haram: yakni Konferensi Kos-Kosan kala itu. Padahal, pada perhelatan Konferensi Cabang (Konfercab) Kota Gorontalo Ke-XX, tersebut melahirkan Sahabat Apriyanto Rajak sebagai Ketua Cabang terpilih periode 2020-2021 secara sah dan mufakat oleh semua komisariat-komisariat pada saat itu, tapi sampai pada akhir masanya tidak diberikan SK meski telah berjuang melakukan pengajuan. Justeru PB PMII malah berpihak kepada perilaku biadab, itu dibuktikan memberikan SK kepada pengurus yang lahir dari Konferensi Kos tersebut yang jelas-jelas melanggar konstitusi PMII itu sendiri.
Akibatnya warisan konflik dualisme itu pun masih bergulir di tubuh PMII Kota, hingga sekarang di nahkodai oleh sahabat Rifaldy R. Happy, yang terpilih pada konferensi yang sah pada Konfercab ke XXI, pada 17 April 2021 silam, dan didukung oleh semua komisariat atau kampus yang ada di Kota Gorontalo, yakni: Komisariat Unisan Gorontalo, Wahid Hasyim, Komsat Dewantara, Komisariat STIMIK Gorontalo, Komisariat Unbita, dan Komisariat UNG, yang juga mendukung Ketua Cabang Apriyanto dulu, dan berjalan melakukan progres kerja-kerja organisasi tanpa dilegitimasi SK Kepengurusan sampai akhir masa jabatan.
Lucunya, Pada Konfercab ke XXII pada 20 Maret 2022 kemarin, PB PMII kembali hadir, yang diwakili oleh sahabat Rahmat Gifari Bestamin, sebagai juruselamat berniat memberikan jalan keluar dan harapan untuk menyelesai polemik di tubuh PMII Kota. Namun pada nyatanya dia lagi-lagi semakin mempertegas bahwa ketidakberdayaan PB PMII dalam menyelesaikan konflik yang ada.
Ceritanya, pada Konfercab ke XXII tersebut, Gifari membawa misi rekonsiliasi melakukan Konfercab dengan kepanitian bersama, antara pengurus yang lahir dari konferkos dan pengurus yang lahir dari Konfercab yang sah, berdasarkan konstitusi, sesuai dengan Ad/Art, juga PO PMII, dan juga Gifari mendorong kembali sahabat Rifaldy untuk mencalonkan diri sebagai ketua cabang, karena menurutnya tidak mempunyai SK, kepengurusannya di anulir. Karena dukungan tersebut dan juga dukungan dari semua komisariat yang ada, sahabat Rifaldy pun menghibahkan diri untuk berkhidmat, dan dipilih kembali menjadi ketua cabang lagi.
Naasnya, pada Konfercab ke XXII yang kembali melahirkan sahabat Rifaldy sebagai ketua itu, atas pertimbangan di atas, yang juga berdasarkan instruksi langsung dari PB PMII dalam hal ini diwakili Rahmat Gifari Bestamin, tetapi juga pada ujungnya dikhianati, bersamaan dengan konfercab itu, kembali melayang pamflet konferensi tandingan dari pengurus yang lahir dari konferensi kos-kosan.
Parahnya Gifari pun tidak menghadiri Konfercab, yang dimintai sendiri untuk dilaksanakan. Harusnya sebagai PB, Gifari mesti hadir dan bersikap pada saat itu, siapa yang pantas dan berhak diberi legitimasi. Namun, lagi-lagi hari itu Gifari bersikap pengecut, pada saat itu juga, menghilang tanpa kabar, kontaknya sudah tidak bisa dihubungi oleh panitia pelaksana Konfercab.Dan, kami mempunyai bukti-bukti percakapan atas instruksi Konfercab tersebut.
Dan kini, dalam keadaan masih berkonflik dengan dualisme, PB PMII hadir kembali akan mengadakan Konferensi Koordinator Cabang Gorontalo (Konkorcab), yang kembali juga memilih Gifari sebagai Ketua Karateker.
Kami dari Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Gorontalo sangat menyayangkan sikap yang dilakukan oleh Ketua Karateker dan pihak panitia Konkorcab. Karena sejauh ini kami tidak dilibatkan, padahal menurut kami bahwa PB PMII harusnya membuka ruang dialog, antar cabang yang menurut kami hal yang lebih penting daripada Konkorcab adalah mengembangkan ide dan gagasan untuk kemajuan PMII Gorontalo, bukan hanya untuk mengakomodir kepentingan cabang tertentu. Sebab, pembentukan Pengurus Koordinator Cabang (PKC) harusnya atas dasar kebutuhan PMII Gorontalo, bukan hanya sekedar keinginan semata. Kalau keinginan semata, sebaiknya PKC jangan dulu diadakan.
Sebagai kader PMII Gorontalo, kami pasti punya banyak harapan terkait dengan kehadiran Konkorcab, yang itu tentu akan kami perjuangkan, dengan cara apapun, dan bagaimanapun modelnya. Dan lalu kemudian kehadiran Gifari, selaku Ketua Karateker harusnya mampu memberikan kemudahan, bagi roda organisasi di tingkat cabang, namun nyatanya sebaliknya, sejauh ini roda dan atmosfer berorganisasi di tingkat cabang, malah banyak sekali diperhambat, memberikan problem dan dinamika yang seharusnya tidak terjadi pada kami.
Bagi kami Gifari, seharusnya tidak bersikap seperti pelacur PMII bagi kepentingan oknum-oknum senior, dia seharusnya bersikap netral, dan melihat segala problematika di level cabang itu, secara objektif, tidak sekadar subjektif.
Kami mendesak harus ada dialog terbuka untuk membahas bagaimana ini Konkorcab, yang menurut kami, ini juga terkesan terburu-buru, dan tanpa mempertimbangkan PMII Kota Gorontalo, hanya karena PMII Kota Gorontalo masih dualisme jabatan, atau masih berkonflik.
Jika PB PMII terus menutup diri, tidak berani dan menjadi pengecut melihat polemik konflik yang ini dihadapi oleh PMII Kota, akan dua peristiwa yang akan terjadi, pertama, langkah pembentukan Konkorcab ini, bisa menjadi harapan baru penyelesaian konflik dualisme yang ada di tubuh PMII Kota Gorontalo, dan kedua, bisa jadi sebaliknya, malah menjadi malapetaka baru, bagi PMII di Gorontalo.