Tolak Aksi Terorisme Melalui Kebhinekaan Bangsa Indonesia

Ilustrasi terorisme. (Sumber Foto: Pixabay.com)
Ilustrasi terorisme. (Sumber Foto: Pixabay.com)

Oleh: Abdi Majid, Mohammad Nashiir, Candrika Adhana Paramita, Shada Amanda Putri Arianda, Wahyu Setya Budi, Mohammad Arih Muwaffaq, Rizky Alfriansyah Putra P. – Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.                     

Saat terjadinya revolusi perancis, pada saat itu kekerasan yang munculnya penentangan pasukan militer pemerintahan pada abad ke 18. Dalam upaya untuk mencapai kepentingannya terorisme menempuh cara-cara kekerasan dengan target aktor politik  sebagai ungkapan penentangan. Pada negara kita indonesia, yang merupakan negara multikultural perlu adanya tindak pencegahan untuk menghindari munculnya konflik yang menyebabkan perpecahan dan konflik antar etnis.

Bacaan Lainnya

Munculnya kelompok ini sebagai representasi dari kekejaman yang dibentuk oleh individu atau kelompok. Dalam pandangan politik terorisme merupakan sebuah bentuk kekerasan yang dilakukan untuk menimbulkan rasa ketakutan pada sebuah golongan untuk mencapai tujuan tertentu. Indonesia banyak mengalami teror dari kekerasan ini Tepatnya pada tragedi bom Bali pada tahun 2002.

Sasaran Terorisme

Terorisme adalah kejahatan internasional yang mengancam keamanan dan kedaulatan negara. Hal ini juga merupakan kejahatan lintas batas yang memanfaatkan perbatasan terbuka, pasar bebas, dan kemajuan teknologi. Terorisme diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa dan kejahatan terhadap kemanusiaan karena membahayakan nilai-nilai hak asasi manusia, seringkali menargetkan orang yang tidak bersalah, dan selalu mengandung unsur kekerasan.

Di Indonesia, terorisme dapat dijelaskan dari dua perspektif, yaitu terorisme koersif yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan masyarakat dan menghancurkan daya juang mereka melawan terorisme, dan terorisme pembalasan yang bertujuan untuk menciptakan kekerasan dalam masyarakat. Faktor utama yang mempengaruhi terorisme adalah ideologi teroris, organisasi teroris yang berkembang, dan perekrutan anggota kelompok teroris.

Salah satu alasan mengapa masyarakat menjadi tujuan para teroris adalah karena mereka dianggap sebagai sasaran yang mudah. Teroris menggunakan taktik kekerasan dan intimidasi untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat atau memanfaatkan keyakinan agama sebagai justifikasi atas tindakan terorisme mereka, sehingga tindakan yang mereka lakukan hanya untuk menciptakan ketidakstabilan dan kekacauan.

Di Indonesia terdapat beberapa kasus dimana masyarakat menjadi target dan pelaku penyebaran ajaran radikalisme oleh berbagai jaringan teroris seperti Jemaah Islamiyah (JI), Negara Islam Indonesia (NII), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Jaringan ini memiliki misi untuk merekrut anggota-anggota baru dengan pola rekrutmen yang sangat tertutup dan ketat sebelum akhirnya anggota baru tersebut di baiat atau sumpah setia kepada organisasi.

Umumnya pola rekrutmen anggota baru dilakukan melalui pengajian umum, pondok-pondok pesantren, dan institusi pendidikan. Paham radikalisme yang dibentuk antara lain seperti menolak Pancasila, pro khilafah, dan intoleran terhadap keberagaman. Dalam merekrut anggota baru, jaringan teroris ini kerap menargetkan anak-anak dibawah umur, perempuan, dan mahasiswa. Seperti kasus penangkapan 16 tersangka anggota kelompok teroris Negara Islam Indonesia (NII) di Sumatera Barat oleh Densus 88 Antiteror dikarenakan mereka aktif merekrut anggota baru dari kalangan anak-anak dibawah umur. 

Direktur Deradikalisasi BNPT mengatakan jaringan teroris saat ini menyasar perempuan untuk dijadikan “pengantin” atau pelaku bom bunuh diri dalam menjalankan aksinya. Motif dari pemilihan perempuan ini adalah untuk mengelabui penegak hukum karena selama ini pelaku terorisme di Indonesia selalu identik dengan laki-laki dan perempuan juga dianggap lebih mudah dipengaruhi oleh paham radikalisme terutama mereka yang memiliki masalah dengan keluarga.

Selanjutnya, adalah peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Kota Malang dimana Densus 88 Antiteror menangkap seorang mahasiswa jurusan Hubungan Internasional dari Universitas Brawijaya berinisial IA. Menurut, survei terbaru yang dilakukan BNPT pada 2020 menemukan adanya potensi radikalisme pada generasi muda, yakni generasi Z sebanyak 12,7%; millennial sebesar 12,4%; dan generasi X sebesar 11,7%.

Agama mayoritas sebagai faktor utama

Mayoritas agama di Indonesia adalah agama Islam. Kemudian kenapa agama islam seringkali dicap sebagai agama yang melakukan aksi teroris? Karena sebagian kalangan menganggap agama islam menjadi agama yang paling benar, hal ini memunculkan adanya sifat Primordialisme terhadap suatu perbedaan. Muncul dari oknum yang fanatik terhadap agama islam, sehingga hal ini membentuk  islam  radikal.

Tindakan yang dilakukan oleh para pelaku teroris yang mengatasnamakan agama ini membuat masyarakat Indonesia maupun global memandang miring terhadap agama Islam. Hal – hal tersebutlah yang membuat agama mayoritas menjadi faktor pelaku teroris, karena di Indonesia sendiri negara yang mayoritas muslim. mereka para pelaku teroris menjadi lebih mudah mencari target yang ingin dijadikan korban.

Namun Islam secara umum memandang tindakan teroris bukan mewakili  ajaran islam  sesuai Al -Quran maupun al-sunnah hal itu dikarenakan Islam mengajarkan  Kedamaian , melarang  membunuh  orang awam yang tidak tahu apa-apa, dan mengajarkan toleransi.

Secara teologis, Islam diturunkan sebagai rahmatan lil’alamin, bukan untuk menimbulkan kerusakan, perselisihan. Ajaran Islam mengedepankan sikap inklusif, toleran, dan menghargai setiap perbedaan. Sangat banyak ayat Al-Qur’an yang melarang kekerasan, pembunuhan dan perusakan di muka bumi. Masyarakat Indonesia sudah cukup memahami bagaimana berbagai macam tindakan terorisme ini berupaya untuk memecah integrasi negara Indonesia.

Banyak orang tidak tahu, para pendiri organisasi islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang notabennya organisasi islam terbesar di Indonesia masih satu perguruan bahkan masih satu keturunan. Keduanya menjadi institusi yang berupaya untuk memurnikan aqidah menjadi masyarakat indonesia yang plural dapat bersatu. Menurut Gonda Yumitro, peneliti sekaligus dosen Universitas Muhammadiyah Malang mengungkapkan bahwa teroris sudah bertentangan dengan HAM. “Cermat melihat Lembaga atau jaringan apa yang menyebarkan kotak amal”

Solusi yang kami tawarkan untuk mencegah peristiwa terorisme ini adalah pemutakhiran babinsa, fungsinya adalah mengejar atau mendeteksi gerakan-gerakan ideologi ekstrim yang masuk di Indonesia. Maka dari itu efektifitasnya dapat diuji sebagai penangkal radikalisme. Solusi kedua adalah Gerakan berbasis komunitas yang berkaitan dengan agama dan dipantau serta diwadahi oleh pemerintah, agar aksi terorisme dapat dihilangkan di Indonesia. Kebhinekaan Indonesia harus tetap terjaga dari adanya radikalisme.

Pos terkait