GORONTALO – Wali Kota Gorontalo, Marten Taha menjadi salah satu narasumber dalam Simposium Nasional Majelis Pembangunan Daerah (MPD) Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan tema memperkuat otonomi daerah menuju Indonesia sejahtera pada 2045 yang dilaksanakan di Hotel Salak The Heritage di Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/1/2023).
Dalam penyampaiannya, Marten menjelaskan, otonomi daerah yang dibuat oleh Pemerintah Pusat sudah saatnya harus dievaluasi jika ingin memperkuat otonomi daerah menuju Indonesia sejahtera pada 2045.
Karena, katanya, dengan adanya undang-undang otonomi daerah, seharusnya memberikan kemandirian kepada pemerintah daerah, serta mendapatkan afirmasi ke daerah.
“Bagaimana kita bisa mengelola sumber daya alam kita sendiri, mengelola sumber daya manusia, mengelola seluruh aset kami, dan memberdayakan seluruh potensi yang ada di daerah untuk kemandirian pemerintah daerah. Sayangnya, sampai saat ini tidak ada daerah yang mendiri, kecuali Jakarta,” kata Marten Taha saat memberikan materinya.
Wali Kota Gorontalo ungkap sejumlah masalah otonomi daerah
Harusnya, kata Marten, setiap daerah harus diberikan kebebasan dalam mengelola sumber daya alamnya agar bisa lebih mandiri. Tapi, katanya, semua itu hanya menjadi angan-angan. Pasalnya, banyak urusan yang ada di daerah, diambil alih oleh Pemerintah pusat. Misalnya, soal masalah pendidikan yang awalnya Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan urusan kabupaten/kota, kini dialihkan ke Pemerintah Provinsi.
“Padahal, saya sebagai Wali Kota Gorontalo telah membangun beberapa sekolah, dan itu merupakan aset Pemerintah Kota Gorontalo. Seluruh Perangkat pendidikan, baik guru-guru dan tenaga pengajar saya sudah bangun sedemikian rupa, tapi tiba-tiba tahun 2015 semua SMA ditarik ke Pemerintah Provinsi. Ini yang menjadi masalah di setiap daerah untuk mencapai kemandirian,” jelas Marten Taha
Selain itu, kata Marten, di sektor kelautan dan perikanan mengalami hal yang sama. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang awalnya merupakan wewenang Pemerintah Kota Gorontalo, kini sudah diambil alih ke Pemerintah Provinsi Gorontalo. Selain itu, pengusaha perikanan yang memiliki kapal dengan mesin 30 gt harus meminta izin dari kementerian. Katanya, hal itu sangat menghambat kemandirian daerah.
Tak hanya itu, katanya, terminal di Gorontalo memiliki tipe kelas A, diambil alih oleh kementerian. Padahal, semua bangunan dan aset yang dimiliki terminal itu adalah hasil pembangunan Pemerintah Kota Gorontalo. Ironisnya, kata Marten, pengambilalihan wewenang itu tanpa kompensasi apa-apa.
Bukan hanya itu, Marten menambahkan, regulasi yang berubah setiap saat serta kebijakan sentralisasi perizinan pengelolaan sumber daya alam juga ikut menjadi persoalan yang sangat serius dalam pencapaian kemandirian suatu daerah. Misalnya, Undang-undang Cipta Kerja yang menghapus berbagai kewenangan daerah dalam hal pengurusan perizinan, baik dari sektor perikanan, pertambangan, hingga sektor kehutanan.
“Harusnya, bukan kewenangannya yang diambil, tapi berikan kami anggarannya untuk mengolah semua itu, agar kami bisa lebih mandiri. Sehingga, dengan masalah itu, daerah tidak bisa menjadi mandiri,” kata Marten Taha yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah DPP APEKSI
Berikutnya, kata Marten, dalam Undang-undang Otonomi Daerah, perlu ada pemerataan dan keadilan antara Desa dan Kelurahan. Katanya, seharusnya kelurahan yang ada di wilayah Kota, harus diberikan anggaran yang sama dengan yang diberikan di Desa. Pasalnya, permasalah yang dihadapi oleh Pemerintah Kelurahan sama dengan yang dihadapi oleh Pemerintah Desa.
“Tidak ada anggaran yang diberikan oleh kelurahan dan Pemerintah Pusat, sementara Desa diberikan anggaran yang cukup besar dari Kementerian. Harusnya, semua disamaratakan, karena permasalahan yang dihadapi sama. Payung hukum juga harus dibuat sama,” tegasnya
Dampak dari undang-undang otonomi daerah, kata Marten, daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar, tapi menjadi daerah yang paling miskin di Indonesia, salah satunya adalah Gorontalo. Katanya, otonomi daerah seharusnya diberikan ke masyarakatnya, bukan diberikan ke pemerintahannya.
“Desentralisasi yang dibuat Pemerintah Pusat menutup peluang daerah untuk bisa menjadi mandiri. Bagi Pemerintah Kota seluruh Indonesia, hal itu menjadi problem, karena urusan yang menyangkut hak hidup rakyat untuk memperoleh pelayanan yang cepat, jadi makin lama. Olehnya, Undang-undang Otonomi daerah sudah saatnya dievaluasi” tutup Wali Kota Gorontalo, Marten Taha