Pemilu 2024 dan Politik Uang

Ilustrasi pemilu 2024. (Sumber: Internet)
Ilustrasi pemilu 2024. (Sumber: Internet)

Penulis: Jufri Ismail, S, Pd. M.Si.

Opini – Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia akan dilangsungkan pada 14 Februari 2024. Ada 18 Partai Politik (Parpol) yang secara resmi dinyatakan lolos verifikasi faktual oleh KPU RI untuk menjadi peserta pada momentum pesta demokrasi lima tahunan itu, di antaranya: PKB, Gerindra, PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, Partai Buruh, Partai Gelora, PKS, PKN, Hanura, Partai Garuda, PAN, PBB, Demokrat, PSI, Perindo, PPP dan Partai Ummat.    

Bacaan Lainnya

Sebagaimana tradisinya menjelang pemilu bakal disuguhkan terkait dengan janji-janji kampanye dari para politisi kepada masyarakat. Setiap kandidat calon, baik yang memakai kendaraan parpol atau perseorangan akan meracik strategi dengan begitu rapi untuk bisa mengetuk hati para pemilih: baik generasi z, milenial hingga orang tua.

KPU RI per tanggal 14 Maret 2023, baru saja menyelesaikan salah satu tahapan penting dalam Pemilu, yakni Pencocokan dan Penelitian (Coklit), di mana dalam proses Coklit ini setiap Pantarlih akan mendatangi pemilih secara langsung untuk memutakhirkan data pemilih. Praktis dengan berakhirnya masa Coklit ini pelaksanaan pencoblosan kurang lebih tinggal 11 bulan lagi. Itu artinya, waktu kian sempit bagi para politisi menuju hari-h.

Pemilu merupakan proses untuk memilih seseorang dalam mengisi jabatan politik, baik DPRD, DPR Provinsi, DPR RI, DPD RI hingga Presiden dan Wakil Presiden. Tentu untuk merebut simpati dari pemilih, para politisi mesti menawarkan visi, misi, program atau citra dirinya. Dengan begitu, harapan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan, akses pendidikan mudah dijangkau, pelayanan kesehatan yang berkualitas, dst. bisa kemudian benar-benar terwujud.

Namun demikian, dalam proses lahirnya pemimpin lewat pemilu pada kenyataannya tak selamanya berjalan mulus. Sebab momentum itu seringkali beriringan dengan musuh bebuyutannya, yakni politik uang (money politic). Dengan kata lain, praktik politik uang seolah-olah telah menjadi penyakit kronis yang terus menempel di tubuh pemilu.

Menurut Zaman (2016) politik uang adalah “uang” yang ditujukan untuk maksud-maksud tertentu, seperti peruntukan kepentingan politik tertentu. Politik uang juga bisa terjadi ketika seorang kandidat membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan imbalan materi. Bentuknya bisa berupa bantuan-bantuan sarana fisik pendukung kampanye pasangan calon tertentu. Dari definisi ini jelaslah bahwa para politisi akan melakukan berbagai cara supaya bisa terpilih, termasuk memakai pola yang justru merusak sistem demokrasi pada pemilu tersebut.

Pada prinsipnya sistem negara demokrasi menganggap bahwa pemilu sebagai lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu sendiri. Sebab pemilu merupakan salah satu implementasi nyata pada ruang demokrasi itu sendiri. Akan tetapi kenyataannya cara-cara yang tak demokratis selalu dipakai untuk menghalalkan setiap muslihat. Jangan heran mengapa kemudian banyak pemimpin yang lahir tidak betul-betul menginsafi akan nasib rakyat.

Dengan demikian kedaulatan rakyat yang diperoleh melalui pemilu seringkali sirna ketika berhadapan dengan praktik politik uang. Yang lebih menyedihkan adalah di kala para pemilih tidak lagi melihat kualitas pengetahuan dan keberpihakan dari calon pemimpin itu kepada rakyat kecil; melainkan menjadikan standar uang atau imbalan lainnya untuk menjatuhkan pilihan.

Sebenarnya negara telah menegaskan ihwal kejahatan politik uang, sebagaimana tertuang dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum pasal 523 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) mengatur tentang larangan politik uang yang terbagi dalam tiga masa tahapan yaitu: pada masa kampanye, pada masa tenang dan pada saat pemungutan suara.

Pada masa kampanye larangan tersebut berbunyi: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Berikut pada masa tenang diterangkan: Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).

Selanjutnya pada masa pemungutan suara disebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga tahun) dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Selain itu, larangan politik uang juga ditegaskan lewat undang-undang nomor 10 tahun 2016, di mana di situ justru lebih tegas bahwa baik pemberi dan penerima sama-sama mendapatkan ancaman pidana. Tentu dasar hukum larangan politik uang ini adalah upaya negara untuk menciptakan kualitas pemilu yang bersih dan demokratis. Akan tetapi, sisi lain kelemahannya ialah begitu susah untuk menghadirkan bukti atau saksi ketika bersua dengan kuasa politik uang.

Karena itu, butuh kerja keras dari semua pihak untuk memerangi praktik jahat politik uang; mulai dari masyarakat, penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dst. Selain memperkuat penegakan hukum, setidaknya harus memiliki kesadaran bahwa kebaikan negara di masa depan jauh lebih penting ketimbang mengamini kepentingan sesaat segelintir orang yang haus akan kekuasaan.

Pos terkait