Penampakan Hantu Tambun di Gedung Sam Rat (11)

Ilustrasi Hantu (Sumber foto: Pixabay)

Fenomena sekarang ini, mahasiswa yang notabene adalah agen perubahan, tak berdaya ketika melihat ketidakadilan. Mereka lupa dan lebih mementingkan diri sendiri, ketimbang tanggung jawab mereka sebagai mahasiswa. 

Padahal, harapan terus saja mengalir agar mereka kembali menjadi agen-agen perubahan bagi keberlangsungan bangsa dan negara. 

Bacaan Lainnya

“Mestinya saat ini, mereka lebih mengutamakan aksi yang nyata, ketimbang berharap pada popularitas”, kata Abdul

Mereka seperti pemain dagelan, dimanfaatkan untuk kepentingan elit politik-bernyanyi dan berakhir dengan transaksi. Gerak tubuh mereka menunjukan betapa merekal lihai menggunakan kostum dan setting wacana, namun kontras dengan isu-isu kerakyatan yang sangat jelas di depan mata.

Abdul ingin agar kehidupan para Junior lebih bermakna, kelak mereka meninggalkan organisasi maupun kampus. Setelah lulus kuliah bukan menjadi ‘gelandangan politik’. Melainkan menjadi kader yang berguna bagi orang lain di lingkungannya. 

“Seorang kader itu tak bisa diukur dari saat ia menjadi mahasiswa dan kader sebuah organisasi, tapi seberapa manfaatnya ia dalam kehidupan di sekelilingnya nanti”, tandasnya.

Robin dengan penuh keteguhan mendengar tanpa menimpali setiap kalimat yang keluar dari Abdul, ia fokus mengendarai motor.

Hidup bermakna menurut Abdul selalu mensyukuri nikmat Tuhan dengan cara tak berhenti berkarya dan mencipta. Hidup bermakna lanjut Abdul, mampu melihat sisi positif tiap sudut kehidupan dan tak mencari kesalahan orang lain.

Bagi Robin, nasihat-nasihat dari Abdul berdasarkan bacaan atas fenomena kemahasiswaan akhir-akhir ini.  Dunia kampus bertujuan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang mendalam, namun faktanya tidak demikian. 

Kampus menurut pengamatan Abdul, tidak berhasil menjadi alat pembebas bagi setiap manusia. Dunia pendidikan hanya berorientasi pada produksi manusia, yang mencapai tujuan ekonomi dan industri. 

Kasus-kasus di dunia pendidikan pun bisa kita temui diantaranya ialah; demotivasi belajar siswa, perundungan, tidak adanya ruang belajar eksplorasi lebih dalam, termasuk komersialisasi pendidikan yang tersistematisasi.

“Pendidikan kita harus membebaskan. Ia adalah alat manusia untuk berurusan dengan realitas secara kritis dan kreatif. Pendidikan merupakan alat untuk memanusiakan manusia lainnya”, terangnya.

“berarti program revolusi mental yang dicanangkan pemerintah saat ini bisa dibilang gagal, kak?”, tanya Robin penasaran. Berharap ia mendapat jawaban yang kritis dari Abdul.

Abdul tidak langsung menjawab pertanyaan Robin. Ia terus memberikan uraian yang cukup sistemik berkaitan dengan  realitas pendidikan kita saat ini, termasuk mentalitas yang diidap kalangan terdidik.

Kata Abdul, kalangan terdidik saat ini tengah menghadapi tekanan sosial. Mereka mengidap penyakit ‘mentalitas inlander’ yang rendah diri, pasrah terhadap suatu keadaan. Kalangan ini punya ‘mentalitas amtenar’ pula yang obsesif terhadap hirarki, gila hormat dan ‘asal bapak senang’. 

Mereka kehilangan kreatifitas karena diikat oleh aturan main dari pemilik lapangan kerja, juga disebabkan oleh keterbatasan akibat eksklusi sosial. Tekanan sosial lain yang tengah dihadapi menyangkut bagaimana memenuhi kebutuhan hidup, ketakutan akan kehilangan sumber penghidupan, dan rasa curiga berlebihan.

“Jika ditanya apakah program revolusi mental gagal atau tidak, bisa saja asumsi tadi benar.  Karena bangsa ini telah gagal dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini bisa kita lihat sejauh mana isi kepala anak muda hari ini”, tandas Abdul.

Bagi Abdul, mentalitas yang diidap kalangan terdidik hari ini tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan; duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Jika ‘mental inlander’ masih mengidap pada diri kalangan terdidik, maka perubahan ke arah lebih baik, sangat mustahil.

“Karena perubahan itu membutuhkan syarat, yakni syarat objektif dan subjektif. Objektifnya bahwa masyarakat sedang muak atas kehidupan sosialnya yang menindas dan timpang, terutama pada ketidak becusnya aparatur negara dalam mengelola kehidupan masyarakat. Apakah kalangan terdidik (mahasiswa) sudah sampai disini penilaiannya? Aku yakin, tidak!”, lanjut Abdul.

“Lalu syarat subjektifnya seperti apa yang dimaksud, kak?”, tanya Robin. 

“Syarat subjektif itu berkaitan dengan kesadaran kita. Apakah kita punya kepekaan yang tinggi terhadap kehidupan sosial di sekitar, untuk menuju pada sebuah perubahan itu sendiri. Namun jika kedua itu tak berjalan berkelindan, tidak saling terpenuhi, maka perubah tak akan pernah kita dapatkan”, terangnya.

Abdul punya optimisme terhadap perubahan jika syarat subjektif dapat terpenuhi, maka tujuan bisa tercapai. Sebab kata Abdul, subjektif berkaitan dengan pendidikan yang menjadi sarana internalisasi nilai-nilai, yang nantinya akan membentuk watak dan mental. Menurutnya, salah satu tujuan pendidikan kita adalah membangun kesadaran dan mengikis mental yang rendah diri, pasrah dan sikap ‘asal bapak senang’.

“Tak bisa kita pungkiri, bahwa pendidikan kita masih bercorak konvensional, yang hanya membentuk mental menjadi pasif, tunduk dan jauh dari keberanian berpikir kritis. Dengan demikian, pendidikan seperti ini hanyalah memperkokoh penindasan manusia atas manusia, termasuk pula menguntungkan penguasa agar tetap langgeng mempertahankan jabatannya”. 

Tak terasa Robin dan Abdul sudah di depan rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WITA, langit belum juga cerah. Abdul mempersilahkan Robin untuk mampir sebentar, sembari menikmati kopi goraka yang nanti diracik sendiri.

Bersambung….

Pos terkait