Oleh : Wahyu Dwi Pambagyo, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Konflik yang terjadi di Myanmar, didasari adanya tuduhan yang dikeluarkan oleh Junta militer, Myanmar terhadap pemerintahan sipil yang telah dianggap bahwasanya terdapat kecurangan pada saat pemilu pada akhirnya permasalahan tersebut berbuntut Panjang dan berakhir dengan ditahannya Aung San Suu Kyi yang merupakan pemimpin sah dari negara Myanmar.
Insiden kudeta tersebut kemudian memancing amarah rakyat Myanmar dan sekaligus membakar konflik yang terus mengalir hingga sekarang dan banyak menimbulkan polemic serta kekacauan dalam negeri di Myanmar. Kekerasaan yang dilakukan oleh Militer Myanmar terhadap masyarakat sipil yang melibatkan sebanyak lebih dari 700 ribu korban jiwa yang pada akhirnya menyedot perhatian public.
Di dalam menyikapi permasalahan ini, Asean yang merupakan organisasi regional yang berada di Asia tenggara belum mampu menyelesaikan konflik yang berada di Myanmar. Hal ini terjadi karena Asean terpaku kepada doktrin serta prinsip tidak saling mengintervensi (non-interference principle) atau dengan kata lain urusan internal masing-masing negara harus saling dihormati.
Secara pemahaman prinsip non-intervensi Asean mengatakan bahwa setiap negara anggota memiliki hak untuk menentukan serta mengatur urusan dalam negerinya, tanpa campur tangan serta adanya tekanan dari negara-negara lain. Begitu Pula dengan Indonesia dan Myanmar yang tetap memegang teguh prinsip non-intervensi yang dimana melarang negara anggota dalam mencampuri urusan domestic anggota Asean lainnya.
Akan tetapi dalam perkembangannya, prinsip non-intervensi menjelma begitu kaku serta dapat justru menyabotase upaya-upaya kolektif menegakkan keadilan yang dimana dalam hal ini berkaitan dengan kemanusiaan di negara yang bersangkutan termasuk dalam kasus konflik kudeta di Myanmar ini.
Dengan adanya sifat non-intervensi ini akan menyulitkan negara Asean dalam mengatasi permasalahan yang terjadi salah satunya yaitu isu kudeta Myanmar tersebut. Dalam kasus Myanmar, upaya Diplomatik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia seringkali mendapatkan penolakan dari pemerintah Myanmar.
Pada isu seperti ini, Indonesia tidak dapat melakukan banyak hal yang dapat dilakukan oleh Indonesia karena dibatasi oleh adanya prinsip non-intervensi tersebut. Di Sisi lainya, penerapan prinsip ini yang dibentuk oleh organisasi Asean memberikan kelonggaran serta kebebasan bagi negara anggota yang terlibat untuk mengatur urusan internal masing-masing negara.
Negara yang memiliki kedaulatan penuh atas pengaturan dalam negerinya tanpa ada campur tangan dari negara lain. Yang pada kesimpulanya Indonesia tidak bisa berbuat banyak kepada negara Myanmar karena prinsip tersebut yang membatasi negara lain mengurusi masalah internal.
Indonesia yang sekarang merupakan negara yang sekaligus menjabat sebagai kepresidenan dari pada organisasi Asean. Indonesia sendiri telah mengambil langkah dan upaya untuk mengatasi permasalahan ini terdapat langkah konkret yang diberikan oleh Indonesia dengan adanya perhelatan KTT ke-42 secara tegas Indonesia dan Asean memberikan perlindungan kepada pekerja migran dan menyepakati penyelesaian konflik Myanmar.
Presiden Jokowi dalam KTT ke-42 tersebut mengajak kepada para pemimpin untuk turut andil dalam permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat dan mengajak kepada para pemimpin tersebut menindak secara tegas kepada para pelaku utama yang bersangkutan. Indonesia dan Asean juga menyepakati bahwasanya organisasi tersebut dapat berorientasi kepada pentingnya sebuah nilai-nilai kemanusian dan adanya pencederaan kepada hak seorang manusia tidak bisa ditoleransi.
Five Point Consensus yang merupakan mandat daripada Asean juga beranggapan bahwasanya kita dapat menggandeng para stakeholder untuk dapat andil dalam membangun sinigeritas dalam mengedepankan nilai kemanusian terutama dalam konteks Kawasan asia tenggara.
Dalam KTT ke-42 juga presiden Jokowi secara tegas akan mengajak berbicara dengan para aktivis yang berada di Myanmar termasuk salah satunya yaitu Junta Militer dan Indonesia juga siap berbicara kepada stakeholder yang berada di Myanmar untuk dapat mengepentingkan permasalahan kemanusiaan.
Dalam hal ini tidak bolehnya campur tangan pihak luar maupun dalam dari Asean yang mementingkan kepentingan atau dengan kata lain dengan mengambil manfaat dari konflik yang terjadi secara internal tersebut, secara tegas posisi Indonesia menyatakan kekerasan harus dihentikan dan rakyat harus mendapatkan perlindungan yang terorganisir. Maka daripada itu pentingnya peran dari Indonesia yang bergabung dengan Asean dalam mengambil langkah dalam mengatasi permasalahan kudeta militer di Myanmar yang belum terselesaikan.
Berdasarkan uraian daripada elaborasi diatas, pengaruh prinsip non-intervensi Asean terhadap upaya Indonesia dalam mengatasi konflik kudeta Myanmar dapat dilihat melalui dua sisi. Pertama penerapan prinsip non-intervensi yang diberlakukan oleh Asean dengan memberikan kelonggaran bagi negara anggota untuk mengatur permasalahan internalnya tanpa ada campur tangan negara lain.
Tetapi dengan adanya prinsip non-intervensi Asean ini menjadi penghalang bagi negara-negara Asean seperti halnya Indonesia dalam melaksanakan mekanisme tertentu dalam beberapa kasus, seperti halnya kasus kudeta Myanmar yang terjadi sekarang. Sehingga adanya segala upaya yang dilakukan oleh Indonesia akan dapat terlaksana secara sistematis apabila negara yang dimaksud yaitu Myanmar bisa membuka akses selebar-lebarnya untuk menerima segala bentuk bantuan dari negara Asean lainya termasuk negara Indonesia.