Menghubungkan Pelemahan Ekonomi dengan Elitisme dan Pembungkaman Kritisisme

Oleh: Rio Ismail

Negara ini tidak konsisten dengan nilai dan pandangan pluralisme, kebinekaan, persamaan hak, dan kegotong-royongan. Semua berhenti pada kata-kata dan formasi bangunan politik. Bahkan pak Jokowi cenderung mencampur-adukkan kejahatan dan kebaikan, orang baik dan buruk atau politisi baik dan politisi busuk dalam satu tim kerja yang berpusat di Istana Negara.

Bacaan Lainnya

Semua diklem atas nama keindonesiaan dan keberagaman. Tapi ketika ekonomi memburuk dan siklus politik tak lagi terkendali, semua bubar dan cari jalan sendiri-sendiri sambil saling tuding dan saling jegal. Lalu presiden menyeru lagi pada keindonesiaan, seperti seorang penganjur moral yang baik sambil memindahkan beban atas kesalahan kebijakan itu ke pundak publik.

Saat ini ekonomi benar-benar melambat. Hanya politik yang berlari kencang melindas apa saja dan siapa saja yang menghalangi. Meninggalkan ratusan juta rakyat miskin dan korban kebijakan ekonomi yang buruk tanpa bisa berbuat banyak.

Menurut saya, analisis para ekonom maupun keluhan para pelaku ekonomi soal pelambatan ekonomi, ketimpangan, pengangguran, dan kemiskinan mestinya dikaitkan dengan sikap pemerintah yang anti perbedaan landas pemikiran.

Dalam hal membangun kebijakan ekonomi, pemerintah bersikap monolitik terhadap arus pemikiran. Ada semacam hasrat fasisme-otoriterian yang dipraktekkan pemerintah. Menolak pihak yang berbeda dan hanya merangkul barisan dengan landas paradigma pemikiran yang seragam dan dari kelompok yang bersekutu untuk memonopoli penentuan kebijakan.

Kritisisme dibungkam, sehingga tak ada lagi yang berani berbeda pemikiran apalagi berani mengkritik dari dalam. Pemikiran dari luar struktur dianggap sebagai ekspresi kepentingan lawan politik.

Kebijakan ekonomi dari waktu ke wakti ditentukan oleh segelintir oligark dan kaki tangannya atau elit-elit politik yang bersembunyi di dalam bangunan partai koalisi.

Akibatnya kekeliruan kebijakan ekonomi tak pernah bisa dikoreksi sejak dini. Lalu Menteri Keuangan tiba-tiba berkeluh kesah bahwa pelambatan ekonomi ada di luar prediksi dan ekspektasi pemerintah.

Bagaimana pemerintah bisa mengaku tidak tahu sementara tingkat konsumsi publik sudah lama melambat di saat APBN diklem masih sulprus atau karena penyerapan yang lambat? Atau, bagaimana seorang Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, pada akhirnya tak lagi garang dan diam-diam mengakui bahwa realisasi investasi yang tinggi tak mampu menyerap tenaha kerja yang banyak?

Bukankah hal semacam ini sudah banyak diingatkan para ahli dan pelaku ekonomi sejak periode kedua rezim Jokowi? Kritik atau pengingat semacam Itu sebetulnya sudah menjadi bagian dari keberagaman pemikiran ekonomi yang hidup di tengah kita.

Tapi pemerintah mengingkari keberagaman itu, dan malah mengambil posisi diametral atau bahkan mengambil posisi cuek seperti kuda berkacamata.

Kini Presiden Jokowi malah dengan berani menyiapkan “fasisme baru” untuk menghadapi kemelut ekonomi dan tuntutan perubahan yang makin membahana.

Jadi gimana dong? Apakah ekonomi yang buruk dan politik yang makin fasis dan otoritarian ini akan berujung pada transisi kekuasaan Presiden Jokowi dengan cara yang keras?

 

Rio Ismail – Pernah menjadi jurnalis, dan sejak 1985-2023 adalah aktivis di LBH Manado/Yayasan LBH Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Solidaritas Perempuan, dan The Ecological Justice.

Pos terkait